Archive for 2013
Tanggapan Elemen Soal Tertangkapnya Ketua MK
By : Unknown
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar turut
menuai sorotan dari berbagai kalangan. Bagaimana tidak, tindakan ini
benar-benar mencoreng lembaga yang setiap keputusannya menyangkut hidup
orang banyak.
Dosen Hukum Tatanegara Unila Dr. Budiono mengaku kaget setelah mengetahui Ketua MK tertangkap tangan menerima suap yang nilainya berkisar Rp 3 miliar.
"Saya sedih apalagi ini Ketua MK nya. Lembaga yang selama ini kita anggap paling bersih setelah KPK ternyata justru menjadi contoh yang buruk, ini benar-benar mencoreng, apalagi MK ini menyidangkan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kaget lah kita," kata dia saat menghadiri rapat Raperda Tata Organisasi PDAM di Kantor DPRD Bandar Lampung, kemarin (3-10).
Jika terbukti, ia berharap penegak hukum bisa menjatuhkan hukuman maksimal. "Karena ini menyangkut citra hukum. Merusak citra MK yang selama ini kita anggap bersih," tandasnya.
Terpisah, Sekretaris Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Lampung Aris Ali Ridho berduka atas ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar. Mereka berharap ini bukan bertanda bangkrut dan gagalnya negara. Sebab, korupsi telah merambah ke lembaga negara yang keputusannya bersifat final dan mengikat.
Ia juga menyayangkan aksi kriminal paling sadis ini juga melibatkan 3 pilar demokrasi yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. "MK telah gagal menjadi salah satu penyambung pilar demokrasi lainnya. Tentu ini akan menjadi ancaman demokrasi Indonesia," kata dia.
Ia juga bertanya kepada siapa lagi rakyat harus percaya jika MK yang selama ini dinilai sebagai lembaga yang kredibel dan independen sudah terkontaminasi. "Harapan kami saat ini hanya kepada pers saja. Maka kami PKC PMII Lampung akan menginstruksikan kepada 8 Pengurus Cabang PMII se Lampung untuk mengibarkan bendera setengah tiang dan menggelar tahlilan tujuh hari tujuh malam berdoa agar Indonesia tidak menjadi negara yang bangkrut karena korup," pungkasnya.()
Dosen Hukum Tatanegara Unila Dr. Budiono mengaku kaget setelah mengetahui Ketua MK tertangkap tangan menerima suap yang nilainya berkisar Rp 3 miliar.
"Saya sedih apalagi ini Ketua MK nya. Lembaga yang selama ini kita anggap paling bersih setelah KPK ternyata justru menjadi contoh yang buruk, ini benar-benar mencoreng, apalagi MK ini menyidangkan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kaget lah kita," kata dia saat menghadiri rapat Raperda Tata Organisasi PDAM di Kantor DPRD Bandar Lampung, kemarin (3-10).
Jika terbukti, ia berharap penegak hukum bisa menjatuhkan hukuman maksimal. "Karena ini menyangkut citra hukum. Merusak citra MK yang selama ini kita anggap bersih," tandasnya.
Terpisah, Sekretaris Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Lampung Aris Ali Ridho berduka atas ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar. Mereka berharap ini bukan bertanda bangkrut dan gagalnya negara. Sebab, korupsi telah merambah ke lembaga negara yang keputusannya bersifat final dan mengikat.
Ia juga menyayangkan aksi kriminal paling sadis ini juga melibatkan 3 pilar demokrasi yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. "MK telah gagal menjadi salah satu penyambung pilar demokrasi lainnya. Tentu ini akan menjadi ancaman demokrasi Indonesia," kata dia.
Ia juga bertanya kepada siapa lagi rakyat harus percaya jika MK yang selama ini dinilai sebagai lembaga yang kredibel dan independen sudah terkontaminasi. "Harapan kami saat ini hanya kepada pers saja. Maka kami PKC PMII Lampung akan menginstruksikan kepada 8 Pengurus Cabang PMII se Lampung untuk mengibarkan bendera setengah tiang dan menggelar tahlilan tujuh hari tujuh malam berdoa agar Indonesia tidak menjadi negara yang bangkrut karena korup," pungkasnya.()
Sumber : Lampung Post, Sabtu, 04 September 2013
Tag :
berita,
PKC PMII Lampung Gelar Pelantikan dan Muker
By : Unknown
Dalam rangka mengawali agenda-agenda besar selama dua tahun
mendatang, keluarga besar Pimpinan Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Provinsi Lampung mengadakan Musyawarah
Kerja Koordinator Cabang.
Aris Ali Ridho, sekretaris umum PKC PMII Lampung kepada kontributor
berita9online setempat mengatakan, agenda Musker PKC PMII Lampung ini di
adakan di komplek Pondok Pesantren Darul A’mal Kota Metro – Lampung,
selama dua hari, Sabtu-Minggu, 28-29 September 2013 bertepatan 22-23
Dulqo’dah 1434. Dengan mengusung tema,“Melakukan Kesadaran Kolektif
dalam Bingkai Kaderisasi Menuju Pembangunan Lampung Adil dan Sejahtera”.
Dalam Musker terbagi menjadi beberapa komisi, yaitu : pertama, komisi
kaderisasi dan pembangunan sumber daya anggota. Kedua, komisi
pendayagunaan dan kelembagaan organisasi. Ketiga, komisi advokasi hukum
dan hak asasi manusia. Keempat, komisi keagamaan dan jaringan pesantren.
Kelima, komisi komunikasi dan kerjasama lintas OKP dan ormas. Keenam,
komisi pengembangan pemikiran dan IPTEK. Dan ketujuh, komisi, hubungan
alumni dan sosial kemasyarakatan.
“Sebelum diadakan Musker terlebih dahulu dilaksanakan pelantikan
pengurus PKC PMII Lampung masa khidmat 201-2015 oleh Ketua Umum PB PMII
sahabat Addin Jauharudin”, tambahnya yang juga alumni FISIP Universitas
Lampung itu.
Berjikut susunan pengurus berdasarkan Surat Keputusan PB PMII Nomor :
292.PB-XVIII.01-292.A-I.05.2013 tentang Sususun Pengurus PKC PMII
Lampung masa khidmat 2013 – 2015:
Majelis Pembina Daerah ( Mabinda) :
Ketua : H. Muchtar Luthfie, SH, MM, MH
Sekretaris : H. Fajrun Najah Ahmad
Anggota :
Rustam Effendi Damara, SE, MM
Dr. KH. Khoiruddin Tahmid, MH
Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M. Ag
Drs. H. Musa Zainudin
Drs. H. Munzir AS
Drs. Lazuardi Alwi
Thamrin Ferly, SE
H. Bustami Zainudin, S.Pd
Ir. H. Mustafa, MH
Drs. Alhuda Muhajirin
Dedy Mawardi, SH, MH
Syahrudin Putra, S. Sos, MM
Erlina, SP, MH
Solihin, S.Pd.I, MH
Rudi, SH, LLM, LLD
Hargito, S.Ag
Agus Toni, S. Ag
Imam Wahyudianto, S.Pd.I
Edi Sudrajat, S.Th.I
Dadin Ahmadin, S.Sos.I
Eka Putra Jaya
Badan Pengurus Harian (BPH) :
Ketua Umum : Arief Rahman Hakim
Ketua : Kahfi
Ketua : Andi Putra
Ketua : Ifhthoro Indra Kesuma
Ketua : Agus Setiono
Ketua : M. Ikromudin Wahab
Ketua : Ronansyah
Ketua : Magama Sastra TN
Sekretaris Umum : Aris Ali Ridho
Sekretaris : Nopriansyah Harianto
Sekretaris : Ramzi Ramdo
Sekretaris : Yayan Akbar
Sekretaris : Ryan Armando
Sekretaris : Aan Uly Rosyadi
Sekretaris : Andika Wijaya
Sekretaris : Muhammad Rifai
Bendahara Umum : Siti Wuriyan
Bendahara : Bozda Wizard P
Sumber : Berita 9 Online, 3 Oktober 2013
Majelis Pembina Daerah ( Mabinda) :
Ketua : H. Muchtar Luthfie, SH, MM, MH
Sekretaris : H. Fajrun Najah Ahmad
Anggota :
Rustam Effendi Damara, SE, MM
Dr. KH. Khoiruddin Tahmid, MH
Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M. Ag
Drs. H. Musa Zainudin
Drs. H. Munzir AS
Drs. Lazuardi Alwi
Thamrin Ferly, SE
H. Bustami Zainudin, S.Pd
Ir. H. Mustafa, MH
Drs. Alhuda Muhajirin
Dedy Mawardi, SH, MH
Syahrudin Putra, S. Sos, MM
Erlina, SP, MH
Solihin, S.Pd.I, MH
Rudi, SH, LLM, LLD
Hargito, S.Ag
Agus Toni, S. Ag
Imam Wahyudianto, S.Pd.I
Edi Sudrajat, S.Th.I
Dadin Ahmadin, S.Sos.I
Eka Putra Jaya
Badan Pengurus Harian (BPH) :
Ketua Umum : Arief Rahman Hakim
Ketua : Kahfi
Ketua : Andi Putra
Ketua : Ifhthoro Indra Kesuma
Ketua : Agus Setiono
Ketua : M. Ikromudin Wahab
Ketua : Ronansyah
Ketua : Magama Sastra TN
Sekretaris Umum : Aris Ali Ridho
Sekretaris : Nopriansyah Harianto
Sekretaris : Ramzi Ramdo
Sekretaris : Yayan Akbar
Sekretaris : Ryan Armando
Sekretaris : Aan Uly Rosyadi
Sekretaris : Andika Wijaya
Sekretaris : Muhammad Rifai
Bendahara Umum : Siti Wuriyan
Bendahara : Bozda Wizard P
Sumber : Berita 9 Online, 3 Oktober 2013
Tag :
berita,
Kader PMII Jangan Orientasi pada Jabatan
By : Unknown
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Seluruh pengurus
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) se-Lampung diharapkan
meningkatkan kualitas keimanan, kualitas intelektualitas, dan kualitas
kekaderan. Kader PMII tidak boleh beroreintasi pada jabatan.
Demikian disampaikan Sekretaris Majelis Pembina (Mabinda) Pengurus Korcab PMII Provinsi Lampung, Fajrun Najah Ahmad saat pelantikan PKC PMII Lampung di Pondok Pesantren Darul Amal, Metro, Sabtu (28/9/2013).
Dikatakanya, hanya dengan kualitas yang handal dan teruji, kader-kader PMII akan tetap survive dalam pergulatan kehidupan dan menjadi benteng bagi umat Islam dalam jalankan akidah Ahlussunnah wal Jamaah. "Berbagai aliran keagamaan yang muncul belakangan hendaknya disikapi dengan arif dan bijak, sepanjang tidak bertentangan dengan Alquran, Alhadits, ijma' dan qiyas yang jadi pegangan kaum nahdliyin," jelas Fajrun melalui rilisnya kepada Tribun, Sabtu (28/9/2013) malam.(*)
Sumber : Tribun Lampung, Sabtu, 28 September 2013
Tag :
berita,
Pilgub 2015 Inkonstitusional
By : Unknown
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemilihan Gubernur Lampung 2015 inkonstitusional dan mematikan proses demokrasi yang diamanatkan UUD 1945. Penundaan pilgub tersebut akan melahirkan pemimpin yang bukan dipilih rakyat.
Hal tersebut diungkapkan pengamat hukum tata negara Universitas Lampung, Rudi, dalam diskusi politik yang diadakan Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Bandar Lampung di sekretariatnya, Sabtu (24-8).
Menurut Rudi, dari segi konstitusi mensyaratkan pemilukada dipilih secara demokratis. Jika pilgub tahun 2015, gubernur adalah seorang pelaksana tugas (plt.) yang bukan dipilih rakyat, tetapi dipilih oleh Pemerintah Pusat.
"Saya sangat tidak sependapat dengan wacana Jimly soal pilgub 2015, karena itu inkonstitusional. Dalam UUD 1945 Pasal 18 dijelaskan soal kepala daerah harus dipilih secara demokratis. Adanya plt., artinya selama setahun kita memiliki kepala daerah yang tidak dipilih rakyat," kata Rudi.
Pilgub bersamaan dengan pilpres tahun 2014, kata dia, tidak memenuhi aspek demokrasi substantif. Pesta demokrasi yang dilangsungkan secara bersamaan itu membuat masyarakat tidak mempunyai fokus saat melakukan pemilihan. Masyarakat akan sulit memilih program calon presiden sekaligus program calon gubernur.
Begitupun jika pilgub berbarengan dengan pemilu legislatif. Rudi menjelaskan UU 12/2008 juncto UU 32/2004 menganalogikan bahwa pemilukada tidak bisa berbarengan dengan pileg dan pilpres, tetapi memang tidak disebutkan secara eksplisit. Namun, penafsiran hukum jelas bahwa pembentukan undang-undang itu tidak menginginkan pemilukada berbarengan dengan pileg dan pilpres.
Mengenai dana pilgub yang masih belum jelas, lanjut Rudi, sebenarnya hal ini bisa dicegah jika sebelumnya KPU bisa membangun komunikasi yang baik dengan DPRD. Lembaga legislatif bisa menekan eksektif dalam pembahasan APBD Perubahan 2013.
Dia menambahkan ada kelemahan dalam UU 32/2004 juncto UU 12/2008 yang menyebut anggaran pemilukada dialokasikan dalam APBD. Akhirnya, jika Pemprov tidak mau menganggarkan, penyelenggaraaan pemilukada jadi terganggu.
Rudi mengusulkan agar penyelenggaraan pilgub pada awal 2014 sebelum tahapan kampanye pileg dan pilpres. Hal itu yang paling raelistis untuk menunda tahapan pilgub yang sudah berjalan.
Namun, jangan sampai pilgub bersamaan dengan kegiatan kampanye pileg dan pilpres. Sementara itu, Ketua PMII Lampung Arief Rahman Hakim mengatakan polemik jadwal pilgub sangat tidak mendidik masyarakat.
Saat ini diperlukan sikap kenegarawan kaum elite politik untuk bersama-sama membicarakan yang terbaik demi kepentingan yang lebih besar. Dia menambahkan PMII tidak terjebak untuk mendukung pilgub 2013 atau 2015. PMII ingin memberikan pendidikan demokrasi kepada masyarakat. (CR11/U3).
Sumber : Lampung Post, 26 Agustus 2013
Hal tersebut diungkapkan pengamat hukum tata negara Universitas Lampung, Rudi, dalam diskusi politik yang diadakan Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Bandar Lampung di sekretariatnya, Sabtu (24-8).
Menurut Rudi, dari segi konstitusi mensyaratkan pemilukada dipilih secara demokratis. Jika pilgub tahun 2015, gubernur adalah seorang pelaksana tugas (plt.) yang bukan dipilih rakyat, tetapi dipilih oleh Pemerintah Pusat.
"Saya sangat tidak sependapat dengan wacana Jimly soal pilgub 2015, karena itu inkonstitusional. Dalam UUD 1945 Pasal 18 dijelaskan soal kepala daerah harus dipilih secara demokratis. Adanya plt., artinya selama setahun kita memiliki kepala daerah yang tidak dipilih rakyat," kata Rudi.
Pilgub bersamaan dengan pilpres tahun 2014, kata dia, tidak memenuhi aspek demokrasi substantif. Pesta demokrasi yang dilangsungkan secara bersamaan itu membuat masyarakat tidak mempunyai fokus saat melakukan pemilihan. Masyarakat akan sulit memilih program calon presiden sekaligus program calon gubernur.
Begitupun jika pilgub berbarengan dengan pemilu legislatif. Rudi menjelaskan UU 12/2008 juncto UU 32/2004 menganalogikan bahwa pemilukada tidak bisa berbarengan dengan pileg dan pilpres, tetapi memang tidak disebutkan secara eksplisit. Namun, penafsiran hukum jelas bahwa pembentukan undang-undang itu tidak menginginkan pemilukada berbarengan dengan pileg dan pilpres.
Mengenai dana pilgub yang masih belum jelas, lanjut Rudi, sebenarnya hal ini bisa dicegah jika sebelumnya KPU bisa membangun komunikasi yang baik dengan DPRD. Lembaga legislatif bisa menekan eksektif dalam pembahasan APBD Perubahan 2013.
Dia menambahkan ada kelemahan dalam UU 32/2004 juncto UU 12/2008 yang menyebut anggaran pemilukada dialokasikan dalam APBD. Akhirnya, jika Pemprov tidak mau menganggarkan, penyelenggaraaan pemilukada jadi terganggu.
Rudi mengusulkan agar penyelenggaraan pilgub pada awal 2014 sebelum tahapan kampanye pileg dan pilpres. Hal itu yang paling raelistis untuk menunda tahapan pilgub yang sudah berjalan.
Namun, jangan sampai pilgub bersamaan dengan kegiatan kampanye pileg dan pilpres. Sementara itu, Ketua PMII Lampung Arief Rahman Hakim mengatakan polemik jadwal pilgub sangat tidak mendidik masyarakat.
Saat ini diperlukan sikap kenegarawan kaum elite politik untuk bersama-sama membicarakan yang terbaik demi kepentingan yang lebih besar. Dia menambahkan PMII tidak terjebak untuk mendukung pilgub 2013 atau 2015. PMII ingin memberikan pendidikan demokrasi kepada masyarakat. (CR11/U3).
Sumber : Lampung Post, 26 Agustus 2013
Tag :
Hukum dan Ham,
Ramadhan dan ‘Sedekah Politik’
By : Unknown
Oleh:
Aris Ali Ridho
Sekretaris Umum Pengurus Koordinator Cabang
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Provinsi Lampung
Pada bulan Ramadhan umat muslim memang dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, salah satunya melalui sedekah. Bersedekah memang tidak hanya dikhususkan pada bulan Ramadhan saja, namun dia adalah amalan sunat dan disyariatkan di setiap waktu. Akan tetapi waktu bersedekah dan berzakat pada bulan Ramadhan adalah waktu yang utama dan mulia.
Keberkahan dan beribu keutamaan yang ditawarkan di bulan ini, memotivasi umat muslim untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dan ibadah. Namun, Ramadhan tahun ini, nampak terlihat berbeda. Intentitas bersedekah umat muslim di Indonesia terlihat lebih dibanding dengan bulan Ramadhan sebelumnya bahkan dengan bulan-bulan lain. Hampir disetiap Panti Asuhan, Masjid/Mushala, atau tempat-tempat lain di sudut kota hingga pelosok desa, terlihat selalu ada yang bersedekah setiap harinya. Di media massa, pemberitaan tentang orang bersedekah juga lebih ramai dari biasanya.
‘Berkah’ Tahun Politik
Momentum Ramadhan selain untuk meraup sebesar dan sebanyak mungkin keberkahan bulan suci dan mulia ini, ternyata juga dapat dijadikan ajang untuk mengeruk keuntungan tertentu di luar ibadah kepada Yang Maha Kuasa. Bahkan, bukan tidak mungkin pihak-pihak tertentu akan memanfaatkan momentum Ramadhan untuk kepentingan politik. Ya, nuansa Ramadhan kali ini terlihat berbeda karena bertepatan dengan tahun politik dimana agenda politik lokal dan nasional yang akan segera berlangsung.
Pelaksanaan pemilihan gubernur (pilgub) Lampung 2013 serta pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) pada tahun 2014, bisa jadi memberikan ‘berkah’ tersendiri bagi sebagian umat muslim di Lampung. Momentum Ramadhan kali ini jelas banyak dimanfaatkan oleh para politisi, terutama oleh kompetitor pilgub Lampung dan calon anggota legislatif (caleg) untuk berlomba-lomba dalam mengkampanyekan dirinya.
Ramadhan menjadi momentum untuk starting point para cagub-cawagub serta caleg dalam mencari simpati pendukungnya demi keperluan pilgub dan pileg nanti. Melalui berbagai kegiatan seperti buka dan sahur bersama, safari ramadhan/terawih keliling, ceramah, dll, mereka berusaha mencuri hati rakyat. Untuk lebih meyakinkan bahwa dirinya adalah calon pemimpin/wakil rakyat yang peduli, dermawan, dan layak dipilih, maka memberikan sedekah seperti zakat, santunan, infak, THR, pembagian sembako/sarung dan lain sebagainya rela dikeluarkan dalam jumlah besar.
Mendapatkan simpati dan dukungan politik melalui bersedekah adalah ‘berkah’ bagi para cagub-cawagub serta caleg yang akan bertarung pada pilgub dan pileg nanti. Mungkin begitu pula bagi rakyat, mendapatkan perhatian dan rezki dari sedekah para politisi adalah ‘berkah’ dari bulan Ramadhan.
Antara ‘Sedekah’ dan ‘Money Politics’
Hendaknya bersedekah terlebih pada bulan Ramadhan mesti dilakukan dengan penuh keikhlasan dan didasari niat semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Sejatinya yang namanya sedekah itu disebut sedekah hanya karena ketulusan niat pemberinya tanpa pamrih atau mengharapkan imbalan apapun, dan juga bukan bermaksud pamer. Melakukan sedekah karena didasari oleh kepentingan tertentu, terlebih hanya ingin memengaruhi penerimanya untuk memenuhi harapan si pemberi, tidaklah lagi dapat disebut sebagai sedekah. Dalam istilah agama, praktik tersebut lebih dikenal dengan risywah siyasiyah yang dalam politik lebih mengarah kepada money politics.
Nahdlatul Ulama (NU) pada Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU tahun 2012 yang lalu pun pernah membahasnya, dan menetapkan fatwa haram tentang ‘sedekah’ dan zakat yang secara langsung atau tidak langsung dikaitkan dengan kepentingan politik, terutama untuk mempengaruhi pilihan seseorang. Sedekah tersebut termasuk dalam kategori risywah atau suap yang dihukumi haram, baik bagi pihak pemberi maupun penerima. Sehingga konsekuensinya menjadi haram pula hukumnya untuk memilih calon yang memberikan ‘sedekah’ tersebut.
Sementara untuk sedekah, zakat, atau pemberian lain yang tidak jelas-jelas dipahami oleh penerima bahwa pemberian itu dimaksudkan agar ia memilih calon yang memberikan pemberian itu, maka hukumnya mubah atau boleh bagi penerima, namun haram bagi pihak pemberi. Praktek tersebut jelas akan merusak kesucian bulan Ramadhan dan menganggu kekhusyu’an pelaksanaan ibadah puasa umat muslim.
Padahal bulan Ramadan, keampunan dan rahmat Allah SWT sangat terbuka lebar bagi umat muslim yang melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, pada bulan yang suci ini jangan sampai dikotori oleh perbuatan dan tradisi-tradisi yang merusak nilai agama. Bersedekah haruslah ikhlas semata-mata hanya untuk Allah SWT, tanpa dikait-kaitkan dengan kepentingan apapun. Meskipun tidak ada yang bisa menjaminnya bahwa ‘sedekah’ tersebut tidak akan mendapatkan pahala, karena urusan pahala dari setiap kebajikan, sekecil apapun itu adalah urusan hamba dengan Tuhan-nya, karena hanya Allah yang Maha Tahu apa yang ada di hati setiap hamba-Nya.
Ramadhan kali ini, harus dijadikan momentum oleh umat muslim Lampung untuk lebih cerdas dalam berpikir dan bertindak dalam menghadapi tahun politik. Tidaklah layak memilih calon pemimpin yang berambisi untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaannya dengan menempuh segala cara, terlebih dengan mengotori bulan yang suci. Ramadan ini harus dimaknai sebagai sebagai bulan pembersih diri sekaligus masa pencarian pemimpin yang bersih dan ikhlas untuk mengabdi. Adakah yang demikian?. Wallahu a’lam Bishawab! (*).
Keberkahan dan beribu keutamaan yang ditawarkan di bulan ini, memotivasi umat muslim untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dan ibadah. Namun, Ramadhan tahun ini, nampak terlihat berbeda. Intentitas bersedekah umat muslim di Indonesia terlihat lebih dibanding dengan bulan Ramadhan sebelumnya bahkan dengan bulan-bulan lain. Hampir disetiap Panti Asuhan, Masjid/Mushala, atau tempat-tempat lain di sudut kota hingga pelosok desa, terlihat selalu ada yang bersedekah setiap harinya. Di media massa, pemberitaan tentang orang bersedekah juga lebih ramai dari biasanya.
‘Berkah’ Tahun Politik
Momentum Ramadhan selain untuk meraup sebesar dan sebanyak mungkin keberkahan bulan suci dan mulia ini, ternyata juga dapat dijadikan ajang untuk mengeruk keuntungan tertentu di luar ibadah kepada Yang Maha Kuasa. Bahkan, bukan tidak mungkin pihak-pihak tertentu akan memanfaatkan momentum Ramadhan untuk kepentingan politik. Ya, nuansa Ramadhan kali ini terlihat berbeda karena bertepatan dengan tahun politik dimana agenda politik lokal dan nasional yang akan segera berlangsung.
Pelaksanaan pemilihan gubernur (pilgub) Lampung 2013 serta pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) pada tahun 2014, bisa jadi memberikan ‘berkah’ tersendiri bagi sebagian umat muslim di Lampung. Momentum Ramadhan kali ini jelas banyak dimanfaatkan oleh para politisi, terutama oleh kompetitor pilgub Lampung dan calon anggota legislatif (caleg) untuk berlomba-lomba dalam mengkampanyekan dirinya.
Ramadhan menjadi momentum untuk starting point para cagub-cawagub serta caleg dalam mencari simpati pendukungnya demi keperluan pilgub dan pileg nanti. Melalui berbagai kegiatan seperti buka dan sahur bersama, safari ramadhan/terawih keliling, ceramah, dll, mereka berusaha mencuri hati rakyat. Untuk lebih meyakinkan bahwa dirinya adalah calon pemimpin/wakil rakyat yang peduli, dermawan, dan layak dipilih, maka memberikan sedekah seperti zakat, santunan, infak, THR, pembagian sembako/sarung dan lain sebagainya rela dikeluarkan dalam jumlah besar.
Mendapatkan simpati dan dukungan politik melalui bersedekah adalah ‘berkah’ bagi para cagub-cawagub serta caleg yang akan bertarung pada pilgub dan pileg nanti. Mungkin begitu pula bagi rakyat, mendapatkan perhatian dan rezki dari sedekah para politisi adalah ‘berkah’ dari bulan Ramadhan.
Antara ‘Sedekah’ dan ‘Money Politics’
Hendaknya bersedekah terlebih pada bulan Ramadhan mesti dilakukan dengan penuh keikhlasan dan didasari niat semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Sejatinya yang namanya sedekah itu disebut sedekah hanya karena ketulusan niat pemberinya tanpa pamrih atau mengharapkan imbalan apapun, dan juga bukan bermaksud pamer. Melakukan sedekah karena didasari oleh kepentingan tertentu, terlebih hanya ingin memengaruhi penerimanya untuk memenuhi harapan si pemberi, tidaklah lagi dapat disebut sebagai sedekah. Dalam istilah agama, praktik tersebut lebih dikenal dengan risywah siyasiyah yang dalam politik lebih mengarah kepada money politics.
Nahdlatul Ulama (NU) pada Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU tahun 2012 yang lalu pun pernah membahasnya, dan menetapkan fatwa haram tentang ‘sedekah’ dan zakat yang secara langsung atau tidak langsung dikaitkan dengan kepentingan politik, terutama untuk mempengaruhi pilihan seseorang. Sedekah tersebut termasuk dalam kategori risywah atau suap yang dihukumi haram, baik bagi pihak pemberi maupun penerima. Sehingga konsekuensinya menjadi haram pula hukumnya untuk memilih calon yang memberikan ‘sedekah’ tersebut.
Sementara untuk sedekah, zakat, atau pemberian lain yang tidak jelas-jelas dipahami oleh penerima bahwa pemberian itu dimaksudkan agar ia memilih calon yang memberikan pemberian itu, maka hukumnya mubah atau boleh bagi penerima, namun haram bagi pihak pemberi. Praktek tersebut jelas akan merusak kesucian bulan Ramadhan dan menganggu kekhusyu’an pelaksanaan ibadah puasa umat muslim.
Padahal bulan Ramadan, keampunan dan rahmat Allah SWT sangat terbuka lebar bagi umat muslim yang melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, pada bulan yang suci ini jangan sampai dikotori oleh perbuatan dan tradisi-tradisi yang merusak nilai agama. Bersedekah haruslah ikhlas semata-mata hanya untuk Allah SWT, tanpa dikait-kaitkan dengan kepentingan apapun. Meskipun tidak ada yang bisa menjaminnya bahwa ‘sedekah’ tersebut tidak akan mendapatkan pahala, karena urusan pahala dari setiap kebajikan, sekecil apapun itu adalah urusan hamba dengan Tuhan-nya, karena hanya Allah yang Maha Tahu apa yang ada di hati setiap hamba-Nya.
Ramadhan kali ini, harus dijadikan momentum oleh umat muslim Lampung untuk lebih cerdas dalam berpikir dan bertindak dalam menghadapi tahun politik. Tidaklah layak memilih calon pemimpin yang berambisi untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaannya dengan menempuh segala cara, terlebih dengan mengotori bulan yang suci. Ramadan ini harus dimaknai sebagai sebagai bulan pembersih diri sekaligus masa pencarian pemimpin yang bersih dan ikhlas untuk mengabdi. Adakah yang demikian?. Wallahu a’lam Bishawab! (*).
Didominasi Tokoh Politik
By : Unknown
ADA yang menarik dari turunnya Surat Keputusan (SK) Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Lampung dari PB PMII.
Ya, organisasi mahasiswa ekstrakampus yang terlahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) tersebut ternyata didominasi oleh tokoh politik, pada struktur Majelis Pembina Daerah (Mabinda) nya.
Tampak pada SK bernomor 292.PB-XVIII.01-292.A-1.05.2013 tertanggal 14 Mei 2013 tersebut, pada susunan struktur Majelis Pembina Daerah (Mabinda) 75 persen nama yang tercantum adalah pengurus dan tokoh parpol.
Nama tokoh parpol tersebut diantaranya, Sekretaris Mabinda yang dijabat Fajrun Najah Ahmad (Demokrat), Musa Zainudin (PKB), Munzir AS (PPP), Lazwardi Alwi (PKB/Akademisi), Jauharoh Haddad (Golkar), Bustami Zainudin (PDIP), Mustafa (Golkar), Alhuda Muhajirin (Hanura), Edi Sudrajat (Gerindra) dan Dadin Ahmadin (PDIP).
Selain itu, Akademisi Mukhtar Luthfie dimandati untuk memimpin Mabinda PMII Lampung, temani dengan akademisi lainnya seperti Prof Dr M Mukri, KH Khoirudin Tahmid, Rudi SH dan ada juga pejabat TNI yang juga alumni PMII Thamrin Ferly, Advokat Dedy Mawardi, Birokrat Rustam Effendi Damara dan Syahrudin Putra.
Ketua Umum PKC PMII Lampung, Arif Rahman Hakim mengatakan, penyusunan kepengurusan PKC PMII yang Mabinda-nya didominasi para tokoh politik bukanlah factor kesengajaan.
Akan tetapi, kata dia, memang saat ini para alumni mayoritas berkarir didunia politik dan cukup mewarnai konstelasi perpolitikan di Lampung. ”Tapi itu tidak begitu penting. Yang terpenting adalah PMII berkomitmen untuk mengawal pembangunan bangsa dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengawal proses demokrasi. Dalam waktu dekat, kami akan menggelar kegiatan internal seperti pelantikan dan pelatihan,” kata pemuda Lamsel itu. (ari)
Ya, organisasi mahasiswa ekstrakampus yang terlahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) tersebut ternyata didominasi oleh tokoh politik, pada struktur Majelis Pembina Daerah (Mabinda) nya.
Tampak pada SK bernomor 292.PB-XVIII.01-292.A-1.05.2013 tertanggal 14 Mei 2013 tersebut, pada susunan struktur Majelis Pembina Daerah (Mabinda) 75 persen nama yang tercantum adalah pengurus dan tokoh parpol.
Nama tokoh parpol tersebut diantaranya, Sekretaris Mabinda yang dijabat Fajrun Najah Ahmad (Demokrat), Musa Zainudin (PKB), Munzir AS (PPP), Lazwardi Alwi (PKB/Akademisi), Jauharoh Haddad (Golkar), Bustami Zainudin (PDIP), Mustafa (Golkar), Alhuda Muhajirin (Hanura), Edi Sudrajat (Gerindra) dan Dadin Ahmadin (PDIP).
Selain itu, Akademisi Mukhtar Luthfie dimandati untuk memimpin Mabinda PMII Lampung, temani dengan akademisi lainnya seperti Prof Dr M Mukri, KH Khoirudin Tahmid, Rudi SH dan ada juga pejabat TNI yang juga alumni PMII Thamrin Ferly, Advokat Dedy Mawardi, Birokrat Rustam Effendi Damara dan Syahrudin Putra.
Ketua Umum PKC PMII Lampung, Arif Rahman Hakim mengatakan, penyusunan kepengurusan PKC PMII yang Mabinda-nya didominasi para tokoh politik bukanlah factor kesengajaan.
Akan tetapi, kata dia, memang saat ini para alumni mayoritas berkarir didunia politik dan cukup mewarnai konstelasi perpolitikan di Lampung. ”Tapi itu tidak begitu penting. Yang terpenting adalah PMII berkomitmen untuk mengawal pembangunan bangsa dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengawal proses demokrasi. Dalam waktu dekat, kami akan menggelar kegiatan internal seperti pelantikan dan pelatihan,” kata pemuda Lamsel itu. (ari)
Sumber : Koran Editor, Selasa, 21 Mei 2013
Tag :
Politik,
High Cost Demokrasi *)
By : Unknown
Oleh:
Aris Ali Ridho
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Indonesia tidak pernah menunjukan kondisi sepi dari proses politik yang bernama Pemilu. Bahkan Indonesia di daulat menjadi negara di dunia yang paling banyak menyelenggaraakan pemilu. Satu tahun kedepan bangsa Indonesia akan kembali menjumpai pemilu nasional, yaitu Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres). Bahkan pada tahun 2013 ini, KPU memperkirakan di tingkat lokal juga akan berlangsung sebanyak 152 Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada), terdiri 14 Pemilihan Gubernur (Pilgub) dan 138 Pemilihan Bupati/Walikota.
Biaya Penyelenggaraan
Setelah hampir memasuki 15 tahun reformasi, isu penolakan pemilu dan sinisme demokrasi kembali menguat. Salah satu muaranya adalah munculnya inefesiensi dalam pelaksanaan pemilu termasuk pemilukada. Pada Pilgub Lampung tahun 2008 misalnya, anggaran yang dikeluarkan oleh KPU mencapai Rp 95,8 miliar. Bahkan pada Pilgub Jatim tahun 2008, menghabiskan hampir 1 triliun, serta Pemilu 2009 yang menghabiskan dana sekitar Rp 7 triliun. Hal tersebut juga yang memunculkan wacana agar pelaksanaan demokrasi ditingkat lokal, terutama pemilihan gubernur, tidak dilaksanakan secara langsung, melainkan cukup melalui DPRD.
Fenomena besarnya biaya biaya penyelenggaraan dalam pemilu ini memperlihatkan bahwa demokrasi di Indonesia masih bersifat prosedural dan materialistis, belum mampu menyentuh pada sisi substansial. Jumlah yang sangat besar tersebut menjadi ironi di tengah terpuruknya kondisi perekonomian bangsa saat ini. Hal ini yang kemudian memunculkan asumsi bahwa pelaksanaan pemilu dan pilkada dalam bingkai demokrasi adalah pemborosan, tidak lebih dari sekedar menghambur-hamburkan uang rakyat.
Biaya Politik
Selain persoalan biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada yang besar dan membebani APBN/APBD, besarnya cost politic juga menjadi masalah yang serius dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Mahalnya cost politic tersebut bisa dipahami karena semakin melembaganya politik uang dalam setiap ivent politik di Indonesia. Politik uang dalam ivent politik tidak hanya terjadi di tataran masyarakat bawah untuk membeli suara, tetapi juga terjadi di tingkatan elite partai politik, dalam bentuk jual-beli perahu partai politik. Bahkan nilai transaksi ini diyakini menjadi salah satu item membengkaknya cost politic yang dikeluarkan oleh para calon.
Kondisi ini seoalah telah menjadi syarat penting dalam institusi demokrasi, karena paradigma peserta pemilu masih menganggap bahwa uang merupakan satu strategi pemenangan yang paling instant. Ini menunjukan bahwa kekuatan finansial secara kasat mata senantiasa menjadi subjek yang memainkan peranan penting dan dominan dalam setiap ivent politik dibanding dengan modal politik dan modal sosial. Pada gilirannya, cost politic yang besar tersebut, berimplikasi dan menjadi salah saru faktor banyaknya politisi di lingkungan ekskutif dan legislatif melakukan praktek korupsi.
Menimbang Pemilu Serentak
Persoalan diatas tersebut merupakan persoalan yang paling krusial dan banyak menyita perhatian publik dibanding beberapa persoalan lain, karena juga terjadi di semua level pemilu, sehingga harus dicarikan solusi atau alternatif jalan keluarnya secara bersama-sama. Apabila persoalan tersebut tidak dapat diminimalisir, maka upaya konsolidasi demokrasi akan semakin sulit diwujudkan. Tanpa fairness, kompetisi yang terbangun akan lebih bersifat prosedural dan akan tetap lemah dalam hal substansi. Pemilu, partai politik, dan berbagai instrumen politik lainnya dalam sistem demokrasi hanya akan menjadi bagian dari sebuah rutinitas pergantian kekuasaan. Kecurangan-kecurangan yang terjadi akan menimbulkan sinisme publik terhadap proses politik, yang akan menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi.
Setidaknya aspek waktu pelaksanaan pemilu juga berpengaruh terhadap pembiayaan pemilu/pemilukada. Persoalan manajemen mendesak dilakukan untuk menghindari pemborosan anggaran yang dikeluarkan oleh negara/daerah maupun para kompetitor, karena salah satu faktor terjadinya pemborosan anggaran adalah akibat dari banyaknya biaya yang dikeluarkan setiap kegiatan dan tahapan pada pemilu/pemilukada.
Selama ini, biaya yang paling banyak dikeluarkan dalam penyelenggaraan pemilu/pemilukada adalah gaji untuk honor petugas penyelenggara. Honor petugas menyerap 65 persen dari total biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada. Artinya semakin banyak pemilu/pemilukada yang diselenggarakan semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk honor petugas pemilu/pemilukada. Jika pemilu/pemilukada disatukan penyelenggaraannya menjadi dua atau tiga kali pemilu/pemilukada maka akan menghemat biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada.
Melalui pelaksanaan pemilu/pemulukada secara serentak rakyat tidak perlu membuang waktu harus berkali-kali datang ke TPS dalam lima tahun. Pilkada serentak lebih efektif untuk mengeliminasi keletihan psiko-politik rakyat yang melakukan pemilihan sebanyak tujuh kali dalam rentang waktu lima tahun apabila setiap pilkada dan pemilu presiden berlangsung dua putaran. Kondisi yang demikian tentu sangat menyita energi pemerintah dan rakyat itu sendiri yang pada gilirannya juga menyebabkan tumbuhnya gejala pragmatisme karena merasa semakin jenuh, apatis terhadap politik di tengah masyarakat sehingga partisipasi dalam setiap pelaksanaan pemilu/pemilukada pun semakin menurun. Pemilu/pemilukada serentak juga dapat mencegah hadirnya banyak tim sukses yang akhirnya menjadi beban tersendiri bagi kepala daerah. Pemilu memang merupakan instrument politik yang menjadi sebuah keharusan dalam demokrasi, namun high cost dalam demokrasi bukanlah cita-cita demokrasi, karena demokrasi adalah alat bukan tujuan. (*).
*). Artikel ini pernah dimuat di Lampung Post pada kolom Opini, Selasa, 29 Januari 2013.
Biaya Penyelenggaraan
Setelah hampir memasuki 15 tahun reformasi, isu penolakan pemilu dan sinisme demokrasi kembali menguat. Salah satu muaranya adalah munculnya inefesiensi dalam pelaksanaan pemilu termasuk pemilukada. Pada Pilgub Lampung tahun 2008 misalnya, anggaran yang dikeluarkan oleh KPU mencapai Rp 95,8 miliar. Bahkan pada Pilgub Jatim tahun 2008, menghabiskan hampir 1 triliun, serta Pemilu 2009 yang menghabiskan dana sekitar Rp 7 triliun. Hal tersebut juga yang memunculkan wacana agar pelaksanaan demokrasi ditingkat lokal, terutama pemilihan gubernur, tidak dilaksanakan secara langsung, melainkan cukup melalui DPRD.
Fenomena besarnya biaya biaya penyelenggaraan dalam pemilu ini memperlihatkan bahwa demokrasi di Indonesia masih bersifat prosedural dan materialistis, belum mampu menyentuh pada sisi substansial. Jumlah yang sangat besar tersebut menjadi ironi di tengah terpuruknya kondisi perekonomian bangsa saat ini. Hal ini yang kemudian memunculkan asumsi bahwa pelaksanaan pemilu dan pilkada dalam bingkai demokrasi adalah pemborosan, tidak lebih dari sekedar menghambur-hamburkan uang rakyat.
Biaya Politik
Selain persoalan biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada yang besar dan membebani APBN/APBD, besarnya cost politic juga menjadi masalah yang serius dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Mahalnya cost politic tersebut bisa dipahami karena semakin melembaganya politik uang dalam setiap ivent politik di Indonesia. Politik uang dalam ivent politik tidak hanya terjadi di tataran masyarakat bawah untuk membeli suara, tetapi juga terjadi di tingkatan elite partai politik, dalam bentuk jual-beli perahu partai politik. Bahkan nilai transaksi ini diyakini menjadi salah satu item membengkaknya cost politic yang dikeluarkan oleh para calon.
Kondisi ini seoalah telah menjadi syarat penting dalam institusi demokrasi, karena paradigma peserta pemilu masih menganggap bahwa uang merupakan satu strategi pemenangan yang paling instant. Ini menunjukan bahwa kekuatan finansial secara kasat mata senantiasa menjadi subjek yang memainkan peranan penting dan dominan dalam setiap ivent politik dibanding dengan modal politik dan modal sosial. Pada gilirannya, cost politic yang besar tersebut, berimplikasi dan menjadi salah saru faktor banyaknya politisi di lingkungan ekskutif dan legislatif melakukan praktek korupsi.
Menimbang Pemilu Serentak
Persoalan diatas tersebut merupakan persoalan yang paling krusial dan banyak menyita perhatian publik dibanding beberapa persoalan lain, karena juga terjadi di semua level pemilu, sehingga harus dicarikan solusi atau alternatif jalan keluarnya secara bersama-sama. Apabila persoalan tersebut tidak dapat diminimalisir, maka upaya konsolidasi demokrasi akan semakin sulit diwujudkan. Tanpa fairness, kompetisi yang terbangun akan lebih bersifat prosedural dan akan tetap lemah dalam hal substansi. Pemilu, partai politik, dan berbagai instrumen politik lainnya dalam sistem demokrasi hanya akan menjadi bagian dari sebuah rutinitas pergantian kekuasaan. Kecurangan-kecurangan yang terjadi akan menimbulkan sinisme publik terhadap proses politik, yang akan menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi.
Setidaknya aspek waktu pelaksanaan pemilu juga berpengaruh terhadap pembiayaan pemilu/pemilukada. Persoalan manajemen mendesak dilakukan untuk menghindari pemborosan anggaran yang dikeluarkan oleh negara/daerah maupun para kompetitor, karena salah satu faktor terjadinya pemborosan anggaran adalah akibat dari banyaknya biaya yang dikeluarkan setiap kegiatan dan tahapan pada pemilu/pemilukada.
Selama ini, biaya yang paling banyak dikeluarkan dalam penyelenggaraan pemilu/pemilukada adalah gaji untuk honor petugas penyelenggara. Honor petugas menyerap 65 persen dari total biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada. Artinya semakin banyak pemilu/pemilukada yang diselenggarakan semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk honor petugas pemilu/pemilukada. Jika pemilu/pemilukada disatukan penyelenggaraannya menjadi dua atau tiga kali pemilu/pemilukada maka akan menghemat biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada.
Melalui pelaksanaan pemilu/pemulukada secara serentak rakyat tidak perlu membuang waktu harus berkali-kali datang ke TPS dalam lima tahun. Pilkada serentak lebih efektif untuk mengeliminasi keletihan psiko-politik rakyat yang melakukan pemilihan sebanyak tujuh kali dalam rentang waktu lima tahun apabila setiap pilkada dan pemilu presiden berlangsung dua putaran. Kondisi yang demikian tentu sangat menyita energi pemerintah dan rakyat itu sendiri yang pada gilirannya juga menyebabkan tumbuhnya gejala pragmatisme karena merasa semakin jenuh, apatis terhadap politik di tengah masyarakat sehingga partisipasi dalam setiap pelaksanaan pemilu/pemilukada pun semakin menurun. Pemilu/pemilukada serentak juga dapat mencegah hadirnya banyak tim sukses yang akhirnya menjadi beban tersendiri bagi kepala daerah. Pemilu memang merupakan instrument politik yang menjadi sebuah keharusan dalam demokrasi, namun high cost dalam demokrasi bukanlah cita-cita demokrasi, karena demokrasi adalah alat bukan tujuan. (*).
*). Artikel ini pernah dimuat di Lampung Post pada kolom Opini, Selasa, 29 Januari 2013.