Popular Post

Posted by : Unknown Kamis, 22 Juli 2010


Oleh:
Aris Ali Ridho *)


Bangsa Indonesia yang kaya dengan keragaman yang dimiliki masyarakatnya menempatkan dirinya sebagai masyarakat yang plural. Masyarakat yang plural juga berpotensi dan sangat rentan kekerasan etnik, baik yang dikonstruksi secara kultural maupun politik. Bila etnisitas, agama, atau elemen premordial lain muncul di pentas politik sebagai prinsip paling dominan dalam pengaturan negara dan bangsa, apalagi berkeinginan merubah sistem yang selama ini berlaku, bukan tidak mungkin ancaman disintegrasi bangsa dalam arti yang sebenarnya akan terjadi di Indonesia.

Penerapan otonomi daerah, bukan berati tidak tanpa cacat. Sisi lain pemberian kewenangan tersebut dapat mengakibatkan timbulnya ego wilayah, daerah, etnis maupun agama. Implikasi penerapan dari desentralisasi dan otonomi daerah yang belum dalam suasana integrasi dengan domain negara, justru dapat mengakibatkan disintegrasi sektoral yang rawan konflik akibat ketiadaan ikatan nasional sebagai nation state dan penghormatan terhadap hukum. Meskipun UU NO 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menegaskan bahwa otonomi daerah dalam kerangka dan ikatan NKRI, dengan dasar filosofi ”Bhineka Tunggal Ika”. 

Pemahaman dan pemaknaan otonomi daerah yang salah kaprah, yang seolah-olah, otonomi daerah adalah kebebasan daerah untuk sebebas-bebasnya mengelola daerahnya. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian banyak bermunculan produk hukum yang diformalkan dalam bentuk peraturan daerah bermuatan diskriminatif, tidak sejalan dengan aturan lain baik secara vertikal maupun horizontal. Keadaan yang demikian ini tentu saja kontraproduktif terhadap integrasi nasional dan keutuhan bangsa. 

Maraknya fenomena formalisasi syariat Islam kedalam konstitusi formal dan tertulis dibeberapa daerah di Indonesia menjadi pro kontra, dan bukan tidak mungkin ancaman disintegrasi bangsa itu akan berpotensi muncul. Formalisasi syariat Islam merupakan bentuk pelanggaran kebebasan beragama dilakukan kelompok agama dominan dengan memberangus, mengkebiri, dan menghalang, maupun memberikan stigmatisasi terhadapi penganut agama minoritas atau kelompok agama yang berpemahaman dan melaksanakan praktek ritus yang berbeda dengan arus dominan. Tidak boleh hukum publik didasarkan pada ajaran agama tertentu. Sebab, hukum harus menjamin toleransi hidup beragama yang berkeadaban. Negara tidak bisa memberlakukan secara formal hukum-hukum agama. Tapi, negara harus memfasilitasi warga negara yang ingin melaksanakan ajaran agamanya secara sukarela agar tidak terjadi benturan-benturan atau penelantaran.

Padahal belum tentu masyarakat disuatu daerah tersebut mayoritas menginginkan adanya penerapan syariat Islam. Karena pada dasarnya, kebijakan tersebut adalah merupakan proses politik di tingkatan elite, yang juga tidak luput dari sisipan kepentingan. Menurut M. Mahfud MD, guru besar ilmu hukum tata negara UII yang juga ketua MK, Fenomena pemberlakuan peraturan daerah (perda) mengenai agama di beberapa provinsi adalah contoh konkrit ketidakseimbangan demokrasi dan nomokrasi, bahkan menunjukkan sebagai potensi yang mengancam demokrasi dan nomokrasi. Dikatakan demikian karena perda-perda tersebut tidak mengacu atau berlawanan dengan kaidah hukum yang melandasi pengambilan keputusan yang berlaku di Indonesia. Kaidah-kaidah ini tidak terlepas dari kedudukan Pancasila yang menjadi cita hukum (rechtside) dan harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia.

Dalam kaitan dengan politik pembangunan hukum maka Pancasila yang dimaksudkan sebagai dasar pencapaian tujuan negara tersebut, melahirkan kaidah-kaidah penuntun, antara lain:
Pertama, hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa baik secara teritorial maupun ideologis. Hukum-hukum di Indonesia tidak boleh memuat isi yang berpotensi menyebabkan terjadinya disintegrasi wilayah maupun idiologi. Kedua, hukum harus bersamaan membangun demokrasi dan nomokrasi. Hukum di Indonesia tidak dapat dibuat berdasar menang-menangan jumlah pendukung semata tetapi juga harus mengalir dari filosofi Pancasila dan prosedur yang benar.

Ketiga, membangun keadilan sosial. Tidak dibenarkan munculnya hukum-hukum yang mendorong atau membiarkan terjadinya jurang sosial-ekonomi karena eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang lemah tanpa perlindungan negara. Hukum harus mampu menjaga agar yang lemah tidak dibiarkan menghadapi sendiri pihak yang kuat yang sudah pasti akan selalu dimenangkan oleh yang kuat. Keempat, membangun toleransi beragama dan berkeadaban. Hukum tidak boleh mengistimewakan atau mendiskrimasi kelompok tertentu berdasar besar atau kecilnya pemelukan agama. Indonesia bukan negara agama (yang mendasarkan pada satu agama tertentu) dan bukan negara sekuler (yang tak perduli atau hampa spirit keagamaan). Hukum negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama, tetapi negara harus memfasilitasi, melindungi, dan menjamin keamanannya jika warganya akan melaksanakan ajaran agama karena keyakinan dan kesadarannya sendiri.

Gagasan tersebut perlu direfleksikan. Tidak hanya akan menjadi problem di kalangan umat Islam sendiri, tapi juga menjadi masalah bagi integritas bangsa Indonesia. Konsep syariat Islam seperti apa dan mana yang hendak diformalkan merupakan problem yang akan muncul di internal Islam.

Peran negara adalah untuk memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, tentu bukan keadilan yang mengistimewakan yang mayoritas dan kemudian melupakan hak minoritas. Jika seandainya beberapa daerah yang mengklaim daerahnya adalah daerah Muslim atau daerah dengan berpenduduk mayoritas Muslim kemudian menerapkan syariat Islam ke dalam konstitusi dengan Perda-perdanya karena didasarkan atas prinsip keadilan, tentu prinsip tersebut juga harus berlaku untuk daerah-daerah lainnya, termasuk Bali, Papua, dan beberapa daerah lainnya yang mayoritas masyarakatnya beragama non Muslim dan memiliki keyakinan beragama yang sama. Dan apa jadinya bila seandainya hal itu benar-benar terjadi, ternyata masyarakat Hindu di Bali dan masyarakat Nasrani Papua mendesak dan menghimpun kekuatan untuk menuntut agar Agamanya dapat diformalkan untuk dijadikan landasan hukum yang berlaku di daerahnya.

Meminjam istilah Max Lane (2007), yang mengatakan Indonesia adalah bangsa yang belum selesai. Sehingga politik identitas dalam format identitas suku (ethnic identity), identitas daerah (regional identity) dan identitas agama (religious identity) sangat mudah menguat, apalagi jika dipicu dengan variabel politis, bagian integral dari konsekwensi logis dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung.

Konflik-konflik yang sering terjadi di tingkatan elite, khususnya menjelang pelaksanaan dan pasca Pilkada, juga sering memicu konflik di tingkat bawah yang dapat berujung pada kekerasan antar massa pendukung elite. Masyarakat yang seharusnya di posisikan sebagai subjek, tetapi saat ini justru lebih banyak yang di jadikan objek dan tumbal untuk kepentingan pragmatis elite. Sehingga masyarakat bawah yang secara pemahaman masih cukup ngamblang dan mudah terprovokasi, cenderung dapat berbuat sesuai arah si pemberi perintah, bahkan termasuk untuk merusak tatanan ketentraman masyarakat bawah yang selama ini hanya terus- menerus sebagai obyek eksploitasi.

Mungkin sekilas permasalahan tersebuat nampak biasa saja, namun apabila hal ini berlarut-larut terus terjadi dan tidak ada usaha atau perhatian pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tersebut, bukan tidak mungkin disintegrasi yang selama ini di khawatirkan akan terwujud. Pemerintah harus dapat merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.

Sejenak Mengulas Sejarah.
Sebenarnya perdebatan mengenai formalisasi syariat Islam sudah terjadi sejak lama, bahkan sudah dimulai pada masa pra kemerdekaan RI dengan cakupan yang lebih luas, yaitu sebagai dasar negara. Segenap funding fathers Indonesia antara pihak Islam dan nasionalis melalui Panitia Sembilan yang dibentuk oleh BPUPKI pada tanggal 22 Juni 1945 telah mendiskusikan dan membahas tentang dasar negara Indonesia, yang kemudian disepakati dan menghasilkan lima point yaitu, 1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. 2.Kemanusiaan yang adil dan beradab. 3.Persatuan Indonesia. 4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. 5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesepakatan ini dikenal dengan Piagam Jakarta.

Pada sidang kedua tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan dan butir pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena adanya aspirasi dari wilayah Indonesia timur yang mayoritas non muslim itu menyatakan keberatan dengan bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. Perubahan isi dari Piagam Jakarta itulah yang sampai saat ini kita sebutnya dengan Pancasila.

Dalam perkembangan di kemudian hari, keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, dalam konsiderans dekrit, Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai UUD. Dengan keluarnya Dekrit tersebut banyak pro dan kontra dan keluar pertanyaan yang mendasar menyangkut rencana kembali ke UUD 1945 serta maksud dari pengakuan Piagam Jakarta dan pengaruhnya dalam UUD 1945. Hingga akhirnya perdebatan mengenai Piagam Jakarta diredam oleh pemerintah Orde Baru lewat Tap MPR no. II/MPR/1978.

Memasuki Orba yang dipimpin oleh Jendral Soeharto, justru ditandai dengan niat dan semangat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, serta untuk menghindarkan berbagai Instabilitas di bidang politik dan ekonomi. Dahulu dua ormas Islam yang mendukung dan ikut merumuskan Piagam Jakarta, yaitu NU dan Muhammadiyah akhirnya menerima sekaligus menyatakan final dengan Pancasila. Perubahan sikap para tokoh dan ulama dalam NU terjadi berkat diluncurkannya ‘Deklarasi Hubungan Antara Islam dan Pancasila’ pada Munas Alim Ulama NU (1983) di Asembagus. Rumusan Deklarasi itu didasarkan pada presentasi KH Achmad Siddiq, Rais Aam Syuriyah PBNU 1984-1991. Dalam penjelasannya, KH Ahmad Siddik secara bergurau mengatakan bahwa ibarat makanan, ‘Pancasila sudah kita kunyah selama 38 tahun, namun baru sekarang dipersoalkan halal dan haramnya’.

Setelah berakhirnya rezim Orba dan memasuki era Reformasi, perdebatan mengenai Piagam Jakarta pun kembali mengemuka. Bahkan keinginan beberapa parpol untuk memasukan isu Piagam Jakarta dalam agenda sidang MPR hasil Pemilu 1999 sempat terjadi, meskipun gagasan serta usulan tersebut tidak ditanggapi dan tidak berhasil. Tetapi dari hal tersebut bukan berati perdebatan berhenti begitu saja. Diluar parlemen perdebatan tersebut sering dijadikan bahasan yang pokok dan menarik, terutama di Ormas-Ormas atau Organisasi yang berbasiskan Islam yang masih mengharapkan Piagam Jakarta. Banyaknya kegagalan dan jalan buntu untuk mengangkat isu Piagam Jakarta ke dalam isu nasional, itulah yang kemungkinan bergeser ke arah cakupan yang lebih kecil, sehingga akhirnya berkembang dalam isu di daerah.

Kembali Ke Pancasila
Berbagai persoalan yang muncul baik yang menyangkut politik, sosial budaya maupun hukum yang melanda negara kita yang berpotensi mengancam disintegrasi bangsa, sudah barang tentu kita sikapi secara arif dan bijaksana. Prinsip persatuan dibutuhkan karena kenyataan bahwa bangsa Indonesia sangat plural. Keragaman suku, bangsa, agama, dan budaya yang diwarisi oleh bangsa Indonesia dalam sejarah mengharuskan bangsa Indonesia bersatu dengan seerat-eratnya dalam keragaman. Keragaman merupakan kekayaan yang memang harus dipersatukan (united), tetapi tidak dan bukan untuk diseragamkan (uniformed).

Pancasila yang kita pahami sebagai falsafah bangsa Indonesia sebagai philosphical way of thingking atau philosophical system, yang menggambarkan fungsi & peranannya sebagai jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, serta cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. Konsep bangsa Indonesia yang kaya dengan keragaman dan memposisikan sebagai bangsa yang plural, dan dengan kenekaragaman tersebut lah yang menjadikan sebuah identitas nasional bangsa Indonesia sekaligus menjadi identitas kebangsaan. Kebanggaan kita akan sebuah identitas nasional itulah yang dapat mewujudkan integrasi nasional. Revitalisasi ideologi Pancasila sebagai pemberdayaan identitas nasional perlu dilakukan, karena didasari keyakinan bahwa Pancasila merupakan simpul nasional yang paling tepat bagi Indonesia yang majemuk.


*) Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung dan Aktivis PMII.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © arisaliridho.com - Edited - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -