Popular Post

Posted by : Unknown Jumat, 25 Maret 2011


Oleh:
Aris Ali Ridho
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Unila


Pasca munculnya gerakan moral yang dilancarkan kelompok tokoh lintas agama dengan pernyataan rezim pembohong,  serta pemberitaan wikileaks dan kegagalan negara, yang “menyerang” pemerintahan SBY-Boediono beberapa waktu yang lalu, rakyat Indonesia kembali dihebohkakan dengan pemberitaan yang bersumber dari stasiun televisi Al Jazeera tentang wacana revolusi untuk menumbangkan pemerintahan SBY-Boediono yang di dengungkan oleh Forum Umat Islam (FUI) dan beberapa purnawirawan TNI dengan membentuk Dewan Revolusi Islam (DRI). 

Gerakan-gerakan tersebut muncul bukanlah sesuatu tanpa asal. Hal tersebut bahkan dapat diyakini akibat dari ketidakpuasaan dan merupakan akumulasi dari kontradiksi selama pemerintahan SBY-Boediono yang belum mampu memecahkan problem-problem dasar bangsa ini. Ketidakmampuan pemerintah untuk mentransformasikan rakyat Indonesia kearah yang lebih progresif itulah yang memuunculkan wacana untuk menumbangkan kekuasaan.

Pada dasarnya kekecewaan terhadap pemerintahan hampir dirasakan yang sama oleh seluruh elemen maupun kelompok-kelompok masyarakat. Problem tersebut juga telah memaksa kelompok-kelompok ideologis untuk merancang sebuah konsep dan tawaran solusi atas problem yang tidak mampu diselesaikan dengan sistem yang berlaku saat ini.

Ideologi Kanan Vs Kiri
Penulis akan mencoba menggunakan istilah “kelompok kanan - kelompok kiri” sebagai alat untuk menerangkan perilaku dan sikap kelompok ideoligis di Indonesia. Kelompok kanan yang sangat rasial dan mempunyai keyakinan yang sangat kuat bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan berbagai krisis di negeri ini. Sedangkan kelompok kiri merupakan kelompok yang masih memimpikan kejayaan Komunis untuk hadir dan berperan di panggung politik Indonesia. Karakter tersebut bukan berarti karakter mutlak bagi masing-masing kelompok, tetapi paling tidak dapat mencerminkan orientasi secara garis besar.

Munculnya kedua kelompok tersebut, sama-sama merupakan sebuah reaksi atas kegagalan sistem kapitalis yang diterapkan pemerintahan SBY-Boediono, walaupun memiliki konsep dan tujuan berbeda-beda, bahkan cenderung bertentangan. Tapi kali ini kedua kelompok tersebut mempunyai kepentingan yang sama, yakni sama-sama “membenci” pemerintahan SBY-Boediono dan bersatu dalam sesaat demi menjatuhkan pamor SBY-Boediono. Mereka berhasil me-provokasi sebagian rakyat Indonesia untuk ikut “membenci” rezim yang dianggap gagal ini. Mereka juga meyakini bahwa impiannya dapat terwujud hanya dengan “menghancurkan” sistem yang ada saat ini.

Dalam mengkampanyekan isu-isu yang dibawanya, mereka mempunyai cara tersendiri. Kelompok kanan mungkin sangat terang-terangan di dalam mengekspresikan pilihan sosial, agama dan politiknya. Mereka sangat vokal menyerukan perlunya mengubah ideologi bangsa dengan ideologi  Islam. Hal ini dapat dipahami karena memang umat Islam di Indonesia yang secara statistik begitu dominan, serta sejarah masa lalu tentang Piagam jakarta yang pernah memuat penerapan syariat Islam di Indonesia. Sedangkan kelompok kiri, tampak agak terseok-seok yang disebabkan oleh beban sejarah, seperti halnya berbagai tindakan subversif yang pernah terjadi di Indonesia, maka kelompok ini memang sedikit laten, sedikit tersembunyi, dan cenderung hati-hati dalam mengkampanyekan isu-isunya.

Antara Kelompok Tengah dan Mahasiswa
Keinginan kedua kelompok tersebut, baik impiannya mengadakan revolusi di Indonesia maupun menawarkan konsep-konsepnya tampaknya akan menemui banyak hambatan. Karena ternyata untuk saat ini dapat dikatakan bahwa kedua kelompok tersebut adalah kelompok minoritas di Indonesia. Keberadaan mayoritas di Indonesia justru berada di posisi kelompok tengah (liberal, moderat, konservatif) yang tetap dengan konsep demokrasinya. Selain itu, kelompok kanan yang menggunakan simbol Islam-pun ternyata tidak bisa dikatakan mewakili umat Islam, karena kubu Islam sendiri terfragmentasi pula kedalam beberapa kelompok (varian) yang kadangkala bersaing, bahkan bersebrangan.

Disisi lain, dalam sejarah Indonesia maupun dunia, gerakan menumbangkan rezim dalam sebuah pemerintahan hampir selalu mahasiswa yang mengambil peran penting dan strategis di dalamnya. Meskipun terkadang peran tersebut ternyata tidak selalu seiring dengan kepentingan menegakan demokrasi dan suara rakyat. Seperti pada saat menumbangkan rezim Soekarno, dimana mahasiswa seoalah hanya dijadikan “tunggangan” untuk membantu berdirinya rezim fasis Soeharto. Begitu pula pada saat menumbangkan rezim Soeharto, mahasiswa “kecolongan” karena hanya sebatas menumbangkan rezim tetapi belum mampu memberikan tawaran konsep dan solusi kongkrit untuk membangun sistem yang diidealkan.

Meskipun para mahasiswa tidak dapat memainkan peran independen (sepenuhnya) dalam masyarakat, bagaimanapun juga mereka merepresentasikan barometer yang sangat sensitif yang secara setia merefleksikan animo yang bergerak dalam masyarakat. Begitu pula halnya di Indonesia, para mahasiswa merasa bahwa mereka merepresentasikan animo umum dari ketidakpuasan dan oposisi dalam masyarakat, dan membangun kekuatan serta keberanian dari kenyataan ini. Banyak rakyat yang tidak dapat secara terbuka menyuarakan apa yang disuarakan para mahasiswa, karena mereka masih takut. Sehingga banyak pula rakyat yang merasa gembira karena ternyata mahasiswa dapat menyuarakan apa yang rakyat belum berani suarakan.

Artinya, kelompok tengah maupun mahasiswa adalah kelompok yang masih dianggap dapat menentukan dalam hal mengawal dan mempengaruhi kondisi politik di Indonesia. Dengan demikian, isu rencana revolusi yang didengunkan kelompok kanan yang mengklaim di dukung oleh beberapa purnawiran jenderal bintang tiga, sangatlah jauh akan terjadi.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © arisaliridho.com - Edited - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -