- Back to Home »
- Artikel »
- Problem Koalisi di Indonesia *)
Posted by : Unknown
Senin, 07 Maret 2011
Oleh:
Aris Ali Ridho
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Isu reshuffle kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 2 yang akhir-akhir ini menjadi gonjang-ganjing tentunya menjadi tontonan politik yang menggerahkan bagi sebagian rakyat Indonesia. Situasi politik yang memanas, terutama di partai yang tergabung di dalam koalisi SBY-Boediono, terkait setelah adanya perbedaan pendapat pada saat isu hak angket mafia pajak, disebut-sebut menjadi salah satu penyebab munculnya isu reshuffle kabinet tersebut.
Secara sederhana, dapat kita pahami bersama, bawasannya koalisi pada dasarnya merupakan strategi politik untuk membangun kekuatan dalam pemerintahan dengan cara membagi pos-pos kekuasaan (menteri) kepada partai-partai pengususung maupun partai pendukung untuk bersama-sama mendukung jalannya pemerintahan ke depan. Koalisi yang mencoba di bangun melalui kekuasaan ekskutif, juga diarahkan menciptakan kekuatan di level legislatif (DPR). Dengan iming-iming jatah menteri, partai politik yang tergabung dalam koalisi dipaksa seiya-sekata untuk mendukung maupun menolak semua kebijakan yang sesuai maupun tidak sesuai dengan keinginan pemerintah.
Koalisi di parlemen terjadi karena adanya kekhawatiran banyaknya kepentingan politik kelompok yang berperan yang berdampak pada stabilitas politik serta tidak optimalnya pemerintah dalam merealisasikan program-programnya. Maka dari itu koalisi dibangun di parlemen untuk memperkokoh dan menopang efektivitas kerja kabinet, serta untuk menjamin dukungan mayoritas di parlemen secara permanen. Namun, tidak serta-merta karena tergabung dalam koalisi membuat DPR bungkam dan tidak berani mengawasi proses pelaksanaan pemerintahan yang ada. Koalisi atau oposisi, sebaiknya fungsi pengawasan di DPR tetap berjalan tanpa adanya inervensi dari partai. Bukan karena tergabung dalam koalisi kemudian kebijakan yang salah didukung, dan karena oposisi kebijakan yang sudah tepat dan benar malah dikritik/ditentang.
Dalam teori-teori negara, sejatinya koalisi parlemen terjadi dalam sistem parlementer, bukan dalam sistem presidensial, namun realitas politiklah yang menghajatkan itu semua. Indonesia memang tidak menganut secara murni sistem presidensial karena dalam beberapa hal presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Dengan demikian koalisi adalah rekayasa institusional untuk mengurangi distorsi kombinasi presidensial dan multipartai di satu pihak, dan dalam rangka efektivitas mengokohkan sistem presidensialisme di pihak lain (Syamsudin Haris, 2008).
Adanya perbedaan pendapat yang terjadi di dalam partai koalisi di tataran legislatif (DPR), antara partai Demokrat dengan PKS dan Golkar yang kemudian berimbas dengan ancaman reshuffle di tataran eksekutif (kabinet) merupakan sisi negatif yang justru dapat mengakibatkan tidak sehatnya proses politik yang terjadi. Reshuffle dalam hal ini memang menjadi otoritas presiden, akan tetapi tidaklah bijaksana karena tidak seiya-sekatanya mitra koalisi di DPR menjadi alasan untuk mencopot menteri dari partai yang mbangkang dari koalisi. Jika reshuffle dilakukan, idealnya harus berdasarkan evalusi kinerja menteri selama ini, bukan karena berasal dari partai yang tidak patuh terhadap koalisi.
Fungsi Pengawasan DPR
DPR sebagai lembaga pemegang amanat demokratisasi dari rakyat, sudah seharusnya segala sesuatu yang dikerjakan di parlemen adalah untuk rakyat, bukan untuk kepentingan partai, kelompok, ataupun individu. Anggota DPR dituntut untuk mampu menjalankan fungsi, tugas, dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat, termasuk dalam mengawasi jalannya pemerintahan, dan ini tentu berlaku bagi partai koalisi maupun oposisi. Maka dari itu, ke depan, intrik-intrik koalisi terhadap partai-partai harus diminimalkan, demi mewujudkan efektivitas fungsi pengawasan pada DPR.
Gugurnya usul hak angket pajak yang digulirkan di DPR dalam sidang paripurna telah membuat kepercayaan pasar dan publik pada pemerintah makin merosot. Padahal apabila memperhatikan peran legislatif sebagai institusi check and balances suatu pemerintahan, praktis isu-isu hak angket itu merupakan sesuatu yang urgen dan menjadi pijakan pemerintah dalam melakukan program-programnya. Dan hak angket merupakan salah satu hak dari fungsi kontrol DPR terhadap ekskutif.
Karena pada dasarnya, sejarah dikenalkannya parlemen di Eropa pada waktu itu, dilatar belakangi oleh kebutuhan untuk mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah. Bahkan istilah parlemen itu berasal dari kata Perancis “parle” yang berarti “to speak”, berbicara, bukan “legislation”. Bahkan, meskipun secara formal fungsi legislasi itu ditentukan dalam konstitusi sebagai tugas pokok parlemen, dalam prakteknya justru fungsi legislasi itu tetap tidak efektif untuk menggambarkan adannya kesetaraan derajat antara pemerintah dan parlemen. Sebagai contoh di Indonesia, selama ini rancangan undang-undang (RUU) yang dibahas di DPR hampir 80% lebih justru berasal dari inisiatif pemerintah, bukan inisiatif DPR.
Peran check and balances tidak akan tergambarkan dengan kurangnya fungsi pengawasan dalam DPR. Kebanyakan anggota dewan yang ada di DPR selama ini lebih mengikuti arah perintah dari partai sehingga peran anggota DPR lebih banyak dikendalikan partai. Apalagi partai yang tergabung dalam koalisi, anggota DPR ikut hanyut terbawa dan lebih manut dengan partainya dari pada dengan konstituennya. Seakan-akan fungsi pengawasan hanya berlaku bagi partai oposisi, bukan partai yang masuk dalam koalisi pemerintah. Kebijakan partai seolah-olah menjadi kunci tunggal untuk menentukan sikap para anggota DPR. Sebagai contoh, karena perbedaan sikap yang diambil berbeda dengan partainya dalam dukungan pada hak angket mafia pajak, Effendi Choiri dan Lily Wahid dari PKB, terancam dipecat dan di-recall dari DPR.
Belum lagi manuver politik yang berusaha memotong fungsi-fungsi pengawasan DPR melalui proses-proses politik nonformal di dalam maupun di luar gedung parlemen. Dalam kondisi seperti inilah, harapan rakyat yang ditumpukan kepada wakilnya di DPR banyak yang tidak kesampaian. Inilah problem serius bagi demokrasi perwakilan di Indonesia yang sangat minim keterwakilan. Lantas siapakah yang diwakili dan diperjuangkan kepentingannya oleh para anggota DPR?. Tentu tidak ada yang berharap bahwa situasi inilah yang justru akan menjadi potret dari kehidupan politik Indonesia, sekarang dan masa yang akan datang.
Secara sederhana, dapat kita pahami bersama, bawasannya koalisi pada dasarnya merupakan strategi politik untuk membangun kekuatan dalam pemerintahan dengan cara membagi pos-pos kekuasaan (menteri) kepada partai-partai pengususung maupun partai pendukung untuk bersama-sama mendukung jalannya pemerintahan ke depan. Koalisi yang mencoba di bangun melalui kekuasaan ekskutif, juga diarahkan menciptakan kekuatan di level legislatif (DPR). Dengan iming-iming jatah menteri, partai politik yang tergabung dalam koalisi dipaksa seiya-sekata untuk mendukung maupun menolak semua kebijakan yang sesuai maupun tidak sesuai dengan keinginan pemerintah.
Koalisi di parlemen terjadi karena adanya kekhawatiran banyaknya kepentingan politik kelompok yang berperan yang berdampak pada stabilitas politik serta tidak optimalnya pemerintah dalam merealisasikan program-programnya. Maka dari itu koalisi dibangun di parlemen untuk memperkokoh dan menopang efektivitas kerja kabinet, serta untuk menjamin dukungan mayoritas di parlemen secara permanen. Namun, tidak serta-merta karena tergabung dalam koalisi membuat DPR bungkam dan tidak berani mengawasi proses pelaksanaan pemerintahan yang ada. Koalisi atau oposisi, sebaiknya fungsi pengawasan di DPR tetap berjalan tanpa adanya inervensi dari partai. Bukan karena tergabung dalam koalisi kemudian kebijakan yang salah didukung, dan karena oposisi kebijakan yang sudah tepat dan benar malah dikritik/ditentang.
Dalam teori-teori negara, sejatinya koalisi parlemen terjadi dalam sistem parlementer, bukan dalam sistem presidensial, namun realitas politiklah yang menghajatkan itu semua. Indonesia memang tidak menganut secara murni sistem presidensial karena dalam beberapa hal presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Dengan demikian koalisi adalah rekayasa institusional untuk mengurangi distorsi kombinasi presidensial dan multipartai di satu pihak, dan dalam rangka efektivitas mengokohkan sistem presidensialisme di pihak lain (Syamsudin Haris, 2008).
Adanya perbedaan pendapat yang terjadi di dalam partai koalisi di tataran legislatif (DPR), antara partai Demokrat dengan PKS dan Golkar yang kemudian berimbas dengan ancaman reshuffle di tataran eksekutif (kabinet) merupakan sisi negatif yang justru dapat mengakibatkan tidak sehatnya proses politik yang terjadi. Reshuffle dalam hal ini memang menjadi otoritas presiden, akan tetapi tidaklah bijaksana karena tidak seiya-sekatanya mitra koalisi di DPR menjadi alasan untuk mencopot menteri dari partai yang mbangkang dari koalisi. Jika reshuffle dilakukan, idealnya harus berdasarkan evalusi kinerja menteri selama ini, bukan karena berasal dari partai yang tidak patuh terhadap koalisi.
Fungsi Pengawasan DPR
DPR sebagai lembaga pemegang amanat demokratisasi dari rakyat, sudah seharusnya segala sesuatu yang dikerjakan di parlemen adalah untuk rakyat, bukan untuk kepentingan partai, kelompok, ataupun individu. Anggota DPR dituntut untuk mampu menjalankan fungsi, tugas, dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat, termasuk dalam mengawasi jalannya pemerintahan, dan ini tentu berlaku bagi partai koalisi maupun oposisi. Maka dari itu, ke depan, intrik-intrik koalisi terhadap partai-partai harus diminimalkan, demi mewujudkan efektivitas fungsi pengawasan pada DPR.
Gugurnya usul hak angket pajak yang digulirkan di DPR dalam sidang paripurna telah membuat kepercayaan pasar dan publik pada pemerintah makin merosot. Padahal apabila memperhatikan peran legislatif sebagai institusi check and balances suatu pemerintahan, praktis isu-isu hak angket itu merupakan sesuatu yang urgen dan menjadi pijakan pemerintah dalam melakukan program-programnya. Dan hak angket merupakan salah satu hak dari fungsi kontrol DPR terhadap ekskutif.
Karena pada dasarnya, sejarah dikenalkannya parlemen di Eropa pada waktu itu, dilatar belakangi oleh kebutuhan untuk mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah. Bahkan istilah parlemen itu berasal dari kata Perancis “parle” yang berarti “to speak”, berbicara, bukan “legislation”. Bahkan, meskipun secara formal fungsi legislasi itu ditentukan dalam konstitusi sebagai tugas pokok parlemen, dalam prakteknya justru fungsi legislasi itu tetap tidak efektif untuk menggambarkan adannya kesetaraan derajat antara pemerintah dan parlemen. Sebagai contoh di Indonesia, selama ini rancangan undang-undang (RUU) yang dibahas di DPR hampir 80% lebih justru berasal dari inisiatif pemerintah, bukan inisiatif DPR.
Peran check and balances tidak akan tergambarkan dengan kurangnya fungsi pengawasan dalam DPR. Kebanyakan anggota dewan yang ada di DPR selama ini lebih mengikuti arah perintah dari partai sehingga peran anggota DPR lebih banyak dikendalikan partai. Apalagi partai yang tergabung dalam koalisi, anggota DPR ikut hanyut terbawa dan lebih manut dengan partainya dari pada dengan konstituennya. Seakan-akan fungsi pengawasan hanya berlaku bagi partai oposisi, bukan partai yang masuk dalam koalisi pemerintah. Kebijakan partai seolah-olah menjadi kunci tunggal untuk menentukan sikap para anggota DPR. Sebagai contoh, karena perbedaan sikap yang diambil berbeda dengan partainya dalam dukungan pada hak angket mafia pajak, Effendi Choiri dan Lily Wahid dari PKB, terancam dipecat dan di-recall dari DPR.
Belum lagi manuver politik yang berusaha memotong fungsi-fungsi pengawasan DPR melalui proses-proses politik nonformal di dalam maupun di luar gedung parlemen. Dalam kondisi seperti inilah, harapan rakyat yang ditumpukan kepada wakilnya di DPR banyak yang tidak kesampaian. Inilah problem serius bagi demokrasi perwakilan di Indonesia yang sangat minim keterwakilan. Lantas siapakah yang diwakili dan diperjuangkan kepentingannya oleh para anggota DPR?. Tentu tidak ada yang berharap bahwa situasi inilah yang justru akan menjadi potret dari kehidupan politik Indonesia, sekarang dan masa yang akan datang.
*) Artikel ini juga pernah dimuat di Harian Umum Lampung Post pada tanggal 7 Maret 2011 di kolom Opini.
Artikel ini merupakan penulisan ulang dengan analisis baru pada artikel sebelumnya yang berjudul "Koalisi Dalam Sistem Presidensial".