Popular Post

Posted by : Unknown Rabu, 25 April 2012


Oleh : Aris Ali Ridho
Ketua PMII Komisariat Unila dan
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Unila


Perhelatan politik lokal bernama Pilkada, di beberapa daerah tidak pernah menunjukan kondisi sepi, selalu ada pembicaraan tentang hiruk-pikuknya Pilkada. Termasuk 3 Kabupaten di Lampung yang mulai bersiap-siap untuk menyambutnya. Mulai dari aparat pemerintah, calon depala daerah, Parpol, KPU, LSM/NGO, sampai masyarakat bawah sudah bersibuk ria untuk turut andil dalam suksesi politik 5 tahunan ini.

Posisi Rakyat
Dalam benak rakyat awam, mungkin Pilkada hanya sebatas dianggap sebagai proses pemilihan Bupati/Walikota ataupun Gubernur. Hal tersebut dapat dianggap wajar apabila rakyat menilai Pilkada hanya sebatas hari dimana mereka diminta berduyun-duyun ke TPS 5 menit mencoblos gambar calon pemimpin mereka untuk 5 tahun kedepan.

Karena realitas hari ini, adanya Pilkada langsung tidak menunjukan perubahan yang signifikan terhadap kesejahteraan rakyat. Pilkada saat ini tidak lebih menjadi pestanya partai politik dan elite pemburu kekuasaan, bukan lagi pesta demokrasinya rakyat seperti yang di elu-elukan dulu. Rakyat hanya dijadikan sebagai komoditi politik musiman, dan selalu diposisikan sebagai objek politik, bukan subjek. Posisi rakyat dianggap tidak lebih dari  massa yang mudah diarahkan dan diatur untuk kepentingan politik para kandidat.

Ditengah kondisi minimnya pengetahuan rakyat terhadap politik, praktik kotor penuh dengan intrik politik, justru semakin menjadi ketika proses politik berlangsung. Hal itu telah berdampak besar yang mengarah pada perubahan sikap apatisnya rakyat terhadap politik, bahkan rakyat-pun lebih memperlihatkan sikap pragmatisnya menyaingi seperti apa yang dipetontonkankan parpol dan elite selama ini. Kondisi tersebut jelas semakin memperparah merosotnya kualitas Pilkada.

Padahal Pilkada memiliki beragam artikulasi, baik sebagai proses pembelajaran politik serta demokrasi dan sebagai momentum yang sebenarnya mempunyai fungsi strategis yang berhubungan dengan perubahan untuk rakyat. Idealnya rakyat diposisikan sebagai pemain sekaligus penikmat hasil pesta demokrasi yang sedap, tanpa ada bumbu politik horor, fatamorgana, dan penuh intrik melalui manipulasi dan strategi kandidat yang mengarahkan rakyat ke ruang kampanye.

Pilkada Korup
Mahalnya ongkos politik dalam Pilkada tersebut juga ternyata sangat berpengaruh terhadap kinerja kepala daerah. Sehingga wajar saat terpilih dan menjabat banyak kepala daerah yang konsentrasinya adalah pengembalian modal ketimbang mengurusi persoalan rakyat. Karena mau menggunakan rumus dan logika apapun, ternyata memang kalkualasi gaji kepala daerah selama satu periode-pun belum mampu untuk menutupi kekurangan biaya politik kepala daerah yang nilainya mencapai puluhan miliar.

Setiap kepala daerah yang terpilih melalui mekanisme politik elektoral hampir mustahil untuk terbebas dari kecenderungan tidak korupsi. Sistem demokrasi yang berjalan ditambah kultur masyarakat yang bersifat pamrih politik menyebabkan biaya demokrasi sangat mahal. Kultur inilah yang menyebabkan munculnya korupsi. Untuk menutup biaya politik yang telah dikeluarkan, sering kali kepala daerah terpaksa korupsi.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat hingga 2012 ada 173 kepala daerah yang tersangkut berbagai kasus korupsi. Bahkan mantan Wakil Bupati Banjarnegara, Jateng, Hadi Supeno, dalam bukunya mengatakan saat ini semua kepala daerah di Indonesia, hampir semua terlibat korupsi, meski tingkat keterlibatannya sangat bervariasi. Pejabat atau pemimpin di daerah melakukan tindak pidana korupsi sebagian karena adanya tuntutan dari konstituennya dan tuntutan jabatan untuk hidup mewah.

Kembalikan Ke Rakyat
Kondisi tersebut menunjukkan perhelatan demokrasi kita tidak  lebih perayaan politik untuk menambah jumlah daftar pencari rente dalam negara demokrasi. Kondisi ini menuntut gerakan kesadaran dan pendidikan politik bersama sebagai bentuk revitalisasi dan reinspiratif politik dan demokrasi pada arah, jalan, serta jiwa yang benar. Ini adalah tanggung jawab semua elemen rakyat termasuk parpol dan kandidat kepala daerah yang akan bertarung dalam Pilkada untuk dapat menciptakan budaya pemilih cerdas dan kritis di kalangan rakyat.

Praktik politik transaksional harus segera diakhiri untuk mewujudkan pilkada yang berkualitas. Karena lahirnya pemimpin yang berkualitas ditandai dari proses yang berkualitas. Politik transaksional selama ini telah membuat semua orang terjebak dalam lingkaran setan individualistis. Hal ini cenderung berakhir dengan kompromi atau akomodasi kepentingan elite-elite politik saja, sehingga wajar bila kemudian substansi demokrasi dalam Pilkada menjadi tereduksi.

Pilkada akan menjadi tampilan sisi gelap dari demokrasi ketika tidak bersentuhan dan menjawab kebutuhan rakyat. Bagaimana mungkin suatu negara bisa berdemokrasi bila rakyatnya tidak sejahtera. Bahkan kini terlihat gejala bahwa konsentrasi kekuasaan, modal, dan prestise, hanya pada sekelompok elite.

Bila pilkada langsung adalah merupakan salah satu bentuk demokrasi, sedangkan konsepsi demokrasi adalah kedaulatan berada ditangan rakyat, sudah barang tentu pemimpin yang dipilih oleh rakyat harus berbuat untuk rakyat. Jika demokrasi dipahami sebagai alat untuk menesejahteraannya rakyat, maka demokrasi harus diperjuangkan dan diwujudkan untuk kesejahteraan rakyat yang sudah mendesak. (*).

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © arisaliridho.com - Edited - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -