- Back to Home »
- Artikel , Politik »
- Kejutan Menarik dari Pilkada DKI
Posted by : Unknown
Senin, 20 Agustus 2012
Oleh :
Aris Ali Ridho
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fisip Unila
Pada 20 September yang lalu, warga DKI Jakarta telah menyelenggarakan suksesi lima tahunan, yaitu pilkada gubernur putaran kedua dengan lancar dan aman. Barangkali, selama pelaksanaan pilkada langsung diterapkan, pilkada DKI tahun 2012 ini menjadi pilkada yang paling menarik yang pernah ada di Indonesia sejauh ini. Jakarta menjadi sesuatu yang sangat menarik, apabila mempertimbangkan Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus pusat ekonomi dan bisnis nasional, dengan karakteristik masyarakatnya yang cukup hiterogen. Yang tidak kalah penting lainnya adalah Jakarta juga memiliki segudang persoalannya yang cukup kompleks, dari kemacetan, banjir, kemiskinan, kumuh, dan kriminalitas adalah pemandangan Jakarta sehari-hari. Beberapa hal tersebut mungkin tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Dalam kondisi demikian ini, Jakarta memang membutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar mampu untuk membawa perubahan Jakarta dan keluar dari kompleksitas permasalahan yang membelitnya.
Berdasarkan hasil penghitungan cepat (quick count) dari beberapa lembaga survei memang memberikan kejutan, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) berhasil mengalahkan calon petahana Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli (Foke– Nara). Hampir dipastikan penyelenggaraan pilkada tersebut tanpa menimbulkan ricuh atau konflik dan gugatan sengketa pilkada ke MK.
Konstelasi politik dalam pilkada DKI semakin menarik ketika memasuki babak kedua, dimana ada beberapa catatan mengenai peristiwa yang terjadi pada fase tersebut. Yang pertama, pasca pilkada putaran pertama yang menetapkan pasangan Jokowi-Ahok unggul dalam perolehan suara dan melaju pada putaran kedua bersama pasangan Foke-Nara yang berada diurutan kedua. Beberapa partai politik yang pada putaran pertama kompak menyerang calon petahana justru berbalik arah dan berjamaah mendukung pasangan Foke-Nara.
Hampir seluruh partai politik dari partai besar pemenang pemilu sampai partai gurem turut memberikan dukungannya kepada Foke-Nara, kecuali PDIP dan Gerindra yang dari awal konsisten mengusung Jokowi-Ahok. Namun besarnya dukungan partai politik kepada Foke-Nara ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah perolehannya pada putaran kedua. Catatan kedua adalah maraknya black campaign berupa isu-isu menyangkut SARA yang terjadi pada rentang waktu itu. Isu SARA diawali dari ceramah raja dangdut Rhoma Irama, disalah satu masjid yang mewajibkan memilih pemimpin yang seiman. Isu yang dimainkan untuk mempengaruhi pilihan warga DKI tersebut juga terbukti tidak efektif, dari hasil survei LSI menyimpulkan bahwa meskipun muslim DKI proporsinya 85% dari total penduduk serta saleh secara personal dan sosial tetapi cenderung sekuler dalam urusan politik.
Warga DKI sepertinya ingin membuktikan, bahwa Jakarta memang layak untuk dijadikan barometer Indonesia dalam segala hal, termasuk politik. Warga DKI adalah masyarakat yang cerdas dalam memilih pemimpinnya, tidak lagi berpatokan kepada langkah dan dukungan partai politik. Hal ini dibuktikan dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) beberapa hari sebelum pemilihan yang menunjukan bahwa faktor dukungan partai tidak banyak berpengaruh, karena pemilih cenderung melihat pada figur atau profil kandidat.
Kemenangan Jokowi-Ahok jelas benar-benar merupakan sebuah kejutan menarik bukan hanya untuk warga DKI, tetapi juga untuk rakyat Indonesia. Dua putra daerah asal Solo dan Belitung Timur tersebut, berhasil mengungguli lawan tangguhnya yang merupakan putra asli DKI Foke-Nara yang notabene adalah orang betawi yang lahir dan besar di Jakarta. Foke dinilai cukup menonjol dalam pengalaman memerintah di DKI dan sudah lebih dikenal oleh masyarakat setelah lima tahun memimpin. Namun nampaknya warga DKI menunjukkan bahwa Jakarta sedang merindukan sosok transformatif dan punya semangat komunitarianisme.
Pasangan Jokowi-Ahok tersebut dinilai memiliki integritas moral yang baik serta memiliki keberanian dan ketegasan dalam melaksanakan gagasannya. Selain itu, Jokowi yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Ahok yang mantan Bupati Belitung Timur ini juga dipandang lebih aspiratif daripada pasangan petahan
Jokowi unggul dalam citra bisa dipercaya/bersih dari korupsi, menyenangkan, ramah, hangat, dan perhatian. Selain itu, faktor dukungan media juga turut berperan besar dalam proses pembentukan citra baik terhadap Jokowi. Berbeda lagi dengan Foke, yang lebih mendapatkan citra miring atas evaluasi kinerjanya sebagai petahana yang banyak dipersepsikan gagal. Stigma kegagalan tersebut memalingkan pilihan warga kepada wajah penantang yang dianggap mampu memberi harapan baru. Selain itu buruknya citra Foke juga diperparah oleh sikap elite-elite partai politik yang ramai-ramai mendukung pasangan ini sehingga justru menimbulkan gelombang kritik dan kecaman publik.
Kepemimpinan Lampung
Lampung memang bukan DKI, akan tetapi Lampung juga merindukan figur transformatif, bersih, sederhana, dan dekat dengan rakyatnya, seperti halnya Jokowi di DKI. Kepemimpinan Lampung kedepan, juga perlu dicari sosok alternatif baru yang mampu membawa perubahan Lampung kearah yang lebih baik lagi. Dalam konteks ini, media menjadi andalan yang paling memungkinkan untuk memunculkan figur tersebut. Media harus turut andil dalam menawarkan sosok alternatif untuk kepemimpinan Lampung kedepan dengan independent dan professional tanpa ditunggangi oleh politisi untuk melakukan pencitraannya. Keberpihakan media mesti jelas, agar tujuan media untuk memberikan percedasan sekaligus pendidikan politik yang benar dapat terwujud, bukan malah melakukan pembodohan dengan ‘obral pencitraan’ dari ‘pemesan’.
Pilkada DKI pada 20 September yang lalu, setidaknya menunjukan perkembangan yang positif dalam proses demokrasi di Indonesia ditengah kondisi masyarakat yang semakin jenuh, apatis dengan politik, dan tidak percaya pada sistem demokrasi. Tentunya hal ini bisa menjadi sumber inspirasi baru dalam dinamika politik dan hakikat kepemimpinan publik. Semoga kejutan menarik juga akan datang dalam pilkada Lampung kedepan. Amin. (*).
Berdasarkan hasil penghitungan cepat (quick count) dari beberapa lembaga survei memang memberikan kejutan, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) berhasil mengalahkan calon petahana Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli (Foke– Nara). Hampir dipastikan penyelenggaraan pilkada tersebut tanpa menimbulkan ricuh atau konflik dan gugatan sengketa pilkada ke MK.
Konstelasi politik dalam pilkada DKI semakin menarik ketika memasuki babak kedua, dimana ada beberapa catatan mengenai peristiwa yang terjadi pada fase tersebut. Yang pertama, pasca pilkada putaran pertama yang menetapkan pasangan Jokowi-Ahok unggul dalam perolehan suara dan melaju pada putaran kedua bersama pasangan Foke-Nara yang berada diurutan kedua. Beberapa partai politik yang pada putaran pertama kompak menyerang calon petahana justru berbalik arah dan berjamaah mendukung pasangan Foke-Nara.
Hampir seluruh partai politik dari partai besar pemenang pemilu sampai partai gurem turut memberikan dukungannya kepada Foke-Nara, kecuali PDIP dan Gerindra yang dari awal konsisten mengusung Jokowi-Ahok. Namun besarnya dukungan partai politik kepada Foke-Nara ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah perolehannya pada putaran kedua. Catatan kedua adalah maraknya black campaign berupa isu-isu menyangkut SARA yang terjadi pada rentang waktu itu. Isu SARA diawali dari ceramah raja dangdut Rhoma Irama, disalah satu masjid yang mewajibkan memilih pemimpin yang seiman. Isu yang dimainkan untuk mempengaruhi pilihan warga DKI tersebut juga terbukti tidak efektif, dari hasil survei LSI menyimpulkan bahwa meskipun muslim DKI proporsinya 85% dari total penduduk serta saleh secara personal dan sosial tetapi cenderung sekuler dalam urusan politik.
Warga DKI sepertinya ingin membuktikan, bahwa Jakarta memang layak untuk dijadikan barometer Indonesia dalam segala hal, termasuk politik. Warga DKI adalah masyarakat yang cerdas dalam memilih pemimpinnya, tidak lagi berpatokan kepada langkah dan dukungan partai politik. Hal ini dibuktikan dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) beberapa hari sebelum pemilihan yang menunjukan bahwa faktor dukungan partai tidak banyak berpengaruh, karena pemilih cenderung melihat pada figur atau profil kandidat.
Kemenangan Jokowi-Ahok jelas benar-benar merupakan sebuah kejutan menarik bukan hanya untuk warga DKI, tetapi juga untuk rakyat Indonesia. Dua putra daerah asal Solo dan Belitung Timur tersebut, berhasil mengungguli lawan tangguhnya yang merupakan putra asli DKI Foke-Nara yang notabene adalah orang betawi yang lahir dan besar di Jakarta. Foke dinilai cukup menonjol dalam pengalaman memerintah di DKI dan sudah lebih dikenal oleh masyarakat setelah lima tahun memimpin. Namun nampaknya warga DKI menunjukkan bahwa Jakarta sedang merindukan sosok transformatif dan punya semangat komunitarianisme.
Pasangan Jokowi-Ahok tersebut dinilai memiliki integritas moral yang baik serta memiliki keberanian dan ketegasan dalam melaksanakan gagasannya. Selain itu, Jokowi yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Ahok yang mantan Bupati Belitung Timur ini juga dipandang lebih aspiratif daripada pasangan petahan
Jokowi unggul dalam citra bisa dipercaya/bersih dari korupsi, menyenangkan, ramah, hangat, dan perhatian. Selain itu, faktor dukungan media juga turut berperan besar dalam proses pembentukan citra baik terhadap Jokowi. Berbeda lagi dengan Foke, yang lebih mendapatkan citra miring atas evaluasi kinerjanya sebagai petahana yang banyak dipersepsikan gagal. Stigma kegagalan tersebut memalingkan pilihan warga kepada wajah penantang yang dianggap mampu memberi harapan baru. Selain itu buruknya citra Foke juga diperparah oleh sikap elite-elite partai politik yang ramai-ramai mendukung pasangan ini sehingga justru menimbulkan gelombang kritik dan kecaman publik.
Kepemimpinan Lampung
Lampung memang bukan DKI, akan tetapi Lampung juga merindukan figur transformatif, bersih, sederhana, dan dekat dengan rakyatnya, seperti halnya Jokowi di DKI. Kepemimpinan Lampung kedepan, juga perlu dicari sosok alternatif baru yang mampu membawa perubahan Lampung kearah yang lebih baik lagi. Dalam konteks ini, media menjadi andalan yang paling memungkinkan untuk memunculkan figur tersebut. Media harus turut andil dalam menawarkan sosok alternatif untuk kepemimpinan Lampung kedepan dengan independent dan professional tanpa ditunggangi oleh politisi untuk melakukan pencitraannya. Keberpihakan media mesti jelas, agar tujuan media untuk memberikan percedasan sekaligus pendidikan politik yang benar dapat terwujud, bukan malah melakukan pembodohan dengan ‘obral pencitraan’ dari ‘pemesan’.
Pilkada DKI pada 20 September yang lalu, setidaknya menunjukan perkembangan yang positif dalam proses demokrasi di Indonesia ditengah kondisi masyarakat yang semakin jenuh, apatis dengan politik, dan tidak percaya pada sistem demokrasi. Tentunya hal ini bisa menjadi sumber inspirasi baru dalam dinamika politik dan hakikat kepemimpinan publik. Semoga kejutan menarik juga akan datang dalam pilkada Lampung kedepan. Amin. (*).