Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Ramadhan dan ‘Sedekah Politik’
By : Unknown
Oleh:
Aris Ali Ridho
Sekretaris Umum Pengurus Koordinator Cabang
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Provinsi Lampung

Keberkahan dan beribu keutamaan yang ditawarkan di bulan ini, memotivasi umat muslim untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dan ibadah. Namun, Ramadhan tahun ini, nampak terlihat berbeda. Intentitas bersedekah umat muslim di Indonesia terlihat lebih dibanding dengan bulan Ramadhan sebelumnya bahkan dengan bulan-bulan lain. Hampir disetiap Panti Asuhan, Masjid/Mushala, atau tempat-tempat lain di sudut kota hingga pelosok desa, terlihat selalu ada yang bersedekah setiap harinya. Di media massa, pemberitaan tentang orang bersedekah juga lebih ramai dari biasanya.
‘Berkah’ Tahun Politik
Momentum Ramadhan selain untuk meraup sebesar dan sebanyak mungkin keberkahan bulan suci dan mulia ini, ternyata juga dapat dijadikan ajang untuk mengeruk keuntungan tertentu di luar ibadah kepada Yang Maha Kuasa. Bahkan, bukan tidak mungkin pihak-pihak tertentu akan memanfaatkan momentum Ramadhan untuk kepentingan politik. Ya, nuansa Ramadhan kali ini terlihat berbeda karena bertepatan dengan tahun politik dimana agenda politik lokal dan nasional yang akan segera berlangsung.
Pelaksanaan pemilihan gubernur (pilgub) Lampung 2013 serta pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) pada tahun 2014, bisa jadi memberikan ‘berkah’ tersendiri bagi sebagian umat muslim di Lampung. Momentum Ramadhan kali ini jelas banyak dimanfaatkan oleh para politisi, terutama oleh kompetitor pilgub Lampung dan calon anggota legislatif (caleg) untuk berlomba-lomba dalam mengkampanyekan dirinya.
Ramadhan menjadi momentum untuk starting point para cagub-cawagub serta caleg dalam mencari simpati pendukungnya demi keperluan pilgub dan pileg nanti. Melalui berbagai kegiatan seperti buka dan sahur bersama, safari ramadhan/terawih keliling, ceramah, dll, mereka berusaha mencuri hati rakyat. Untuk lebih meyakinkan bahwa dirinya adalah calon pemimpin/wakil rakyat yang peduli, dermawan, dan layak dipilih, maka memberikan sedekah seperti zakat, santunan, infak, THR, pembagian sembako/sarung dan lain sebagainya rela dikeluarkan dalam jumlah besar.
Mendapatkan simpati dan dukungan politik melalui bersedekah adalah ‘berkah’ bagi para cagub-cawagub serta caleg yang akan bertarung pada pilgub dan pileg nanti. Mungkin begitu pula bagi rakyat, mendapatkan perhatian dan rezki dari sedekah para politisi adalah ‘berkah’ dari bulan Ramadhan.
Antara ‘Sedekah’ dan ‘Money Politics’
Hendaknya bersedekah terlebih pada bulan Ramadhan mesti dilakukan dengan penuh keikhlasan dan didasari niat semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Sejatinya yang namanya sedekah itu disebut sedekah hanya karena ketulusan niat pemberinya tanpa pamrih atau mengharapkan imbalan apapun, dan juga bukan bermaksud pamer. Melakukan sedekah karena didasari oleh kepentingan tertentu, terlebih hanya ingin memengaruhi penerimanya untuk memenuhi harapan si pemberi, tidaklah lagi dapat disebut sebagai sedekah. Dalam istilah agama, praktik tersebut lebih dikenal dengan risywah siyasiyah yang dalam politik lebih mengarah kepada money politics.
Nahdlatul Ulama (NU) pada Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU tahun 2012 yang lalu pun pernah membahasnya, dan menetapkan fatwa haram tentang ‘sedekah’ dan zakat yang secara langsung atau tidak langsung dikaitkan dengan kepentingan politik, terutama untuk mempengaruhi pilihan seseorang. Sedekah tersebut termasuk dalam kategori risywah atau suap yang dihukumi haram, baik bagi pihak pemberi maupun penerima. Sehingga konsekuensinya menjadi haram pula hukumnya untuk memilih calon yang memberikan ‘sedekah’ tersebut.
Sementara untuk sedekah, zakat, atau pemberian lain yang tidak jelas-jelas dipahami oleh penerima bahwa pemberian itu dimaksudkan agar ia memilih calon yang memberikan pemberian itu, maka hukumnya mubah atau boleh bagi penerima, namun haram bagi pihak pemberi. Praktek tersebut jelas akan merusak kesucian bulan Ramadhan dan menganggu kekhusyu’an pelaksanaan ibadah puasa umat muslim.
Padahal bulan Ramadan, keampunan dan rahmat Allah SWT sangat terbuka lebar bagi umat muslim yang melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, pada bulan yang suci ini jangan sampai dikotori oleh perbuatan dan tradisi-tradisi yang merusak nilai agama. Bersedekah haruslah ikhlas semata-mata hanya untuk Allah SWT, tanpa dikait-kaitkan dengan kepentingan apapun. Meskipun tidak ada yang bisa menjaminnya bahwa ‘sedekah’ tersebut tidak akan mendapatkan pahala, karena urusan pahala dari setiap kebajikan, sekecil apapun itu adalah urusan hamba dengan Tuhan-nya, karena hanya Allah yang Maha Tahu apa yang ada di hati setiap hamba-Nya.
Ramadhan kali ini, harus dijadikan momentum oleh umat muslim Lampung untuk lebih cerdas dalam berpikir dan bertindak dalam menghadapi tahun politik. Tidaklah layak memilih calon pemimpin yang berambisi untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaannya dengan menempuh segala cara, terlebih dengan mengotori bulan yang suci. Ramadan ini harus dimaknai sebagai sebagai bulan pembersih diri sekaligus masa pencarian pemimpin yang bersih dan ikhlas untuk mengabdi. Adakah yang demikian?. Wallahu a’lam Bishawab! (*).
High Cost Demokrasi *)
By : Unknown
Oleh:
Aris Ali Ridho
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Unila

Biaya Penyelenggaraan
Setelah hampir memasuki 15 tahun reformasi, isu penolakan pemilu dan sinisme demokrasi kembali menguat. Salah satu muaranya adalah munculnya inefesiensi dalam pelaksanaan pemilu termasuk pemilukada. Pada Pilgub Lampung tahun 2008 misalnya, anggaran yang dikeluarkan oleh KPU mencapai Rp 95,8 miliar. Bahkan pada Pilgub Jatim tahun 2008, menghabiskan hampir 1 triliun, serta Pemilu 2009 yang menghabiskan dana sekitar Rp 7 triliun. Hal tersebut juga yang memunculkan wacana agar pelaksanaan demokrasi ditingkat lokal, terutama pemilihan gubernur, tidak dilaksanakan secara langsung, melainkan cukup melalui DPRD.
Fenomena besarnya biaya biaya penyelenggaraan dalam pemilu ini memperlihatkan bahwa demokrasi di Indonesia masih bersifat prosedural dan materialistis, belum mampu menyentuh pada sisi substansial. Jumlah yang sangat besar tersebut menjadi ironi di tengah terpuruknya kondisi perekonomian bangsa saat ini. Hal ini yang kemudian memunculkan asumsi bahwa pelaksanaan pemilu dan pilkada dalam bingkai demokrasi adalah pemborosan, tidak lebih dari sekedar menghambur-hamburkan uang rakyat.
Biaya Politik
Selain persoalan biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada yang besar dan membebani APBN/APBD, besarnya cost politic juga menjadi masalah yang serius dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Mahalnya cost politic tersebut bisa dipahami karena semakin melembaganya politik uang dalam setiap ivent politik di Indonesia. Politik uang dalam ivent politik tidak hanya terjadi di tataran masyarakat bawah untuk membeli suara, tetapi juga terjadi di tingkatan elite partai politik, dalam bentuk jual-beli perahu partai politik. Bahkan nilai transaksi ini diyakini menjadi salah satu item membengkaknya cost politic yang dikeluarkan oleh para calon.
Kondisi ini seoalah telah menjadi syarat penting dalam institusi demokrasi, karena paradigma peserta pemilu masih menganggap bahwa uang merupakan satu strategi pemenangan yang paling instant. Ini menunjukan bahwa kekuatan finansial secara kasat mata senantiasa menjadi subjek yang memainkan peranan penting dan dominan dalam setiap ivent politik dibanding dengan modal politik dan modal sosial. Pada gilirannya, cost politic yang besar tersebut, berimplikasi dan menjadi salah saru faktor banyaknya politisi di lingkungan ekskutif dan legislatif melakukan praktek korupsi.
Menimbang Pemilu Serentak
Persoalan diatas tersebut merupakan persoalan yang paling krusial dan banyak menyita perhatian publik dibanding beberapa persoalan lain, karena juga terjadi di semua level pemilu, sehingga harus dicarikan solusi atau alternatif jalan keluarnya secara bersama-sama. Apabila persoalan tersebut tidak dapat diminimalisir, maka upaya konsolidasi demokrasi akan semakin sulit diwujudkan. Tanpa fairness, kompetisi yang terbangun akan lebih bersifat prosedural dan akan tetap lemah dalam hal substansi. Pemilu, partai politik, dan berbagai instrumen politik lainnya dalam sistem demokrasi hanya akan menjadi bagian dari sebuah rutinitas pergantian kekuasaan. Kecurangan-kecurangan yang terjadi akan menimbulkan sinisme publik terhadap proses politik, yang akan menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi.
Setidaknya aspek waktu pelaksanaan pemilu juga berpengaruh terhadap pembiayaan pemilu/pemilukada. Persoalan manajemen mendesak dilakukan untuk menghindari pemborosan anggaran yang dikeluarkan oleh negara/daerah maupun para kompetitor, karena salah satu faktor terjadinya pemborosan anggaran adalah akibat dari banyaknya biaya yang dikeluarkan setiap kegiatan dan tahapan pada pemilu/pemilukada.
Selama ini, biaya yang paling banyak dikeluarkan dalam penyelenggaraan pemilu/pemilukada adalah gaji untuk honor petugas penyelenggara. Honor petugas menyerap 65 persen dari total biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada. Artinya semakin banyak pemilu/pemilukada yang diselenggarakan semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk honor petugas pemilu/pemilukada. Jika pemilu/pemilukada disatukan penyelenggaraannya menjadi dua atau tiga kali pemilu/pemilukada maka akan menghemat biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada.
Melalui pelaksanaan pemilu/pemulukada secara serentak rakyat tidak perlu membuang waktu harus berkali-kali datang ke TPS dalam lima tahun. Pilkada serentak lebih efektif untuk mengeliminasi keletihan psiko-politik rakyat yang melakukan pemilihan sebanyak tujuh kali dalam rentang waktu lima tahun apabila setiap pilkada dan pemilu presiden berlangsung dua putaran. Kondisi yang demikian tentu sangat menyita energi pemerintah dan rakyat itu sendiri yang pada gilirannya juga menyebabkan tumbuhnya gejala pragmatisme karena merasa semakin jenuh, apatis terhadap politik di tengah masyarakat sehingga partisipasi dalam setiap pelaksanaan pemilu/pemilukada pun semakin menurun. Pemilu/pemilukada serentak juga dapat mencegah hadirnya banyak tim sukses yang akhirnya menjadi beban tersendiri bagi kepala daerah. Pemilu memang merupakan instrument politik yang menjadi sebuah keharusan dalam demokrasi, namun high cost dalam demokrasi bukanlah cita-cita demokrasi, karena demokrasi adalah alat bukan tujuan. (*).
*). Artikel ini pernah dimuat di Lampung Post pada kolom Opini, Selasa, 29 Januari 2013.
Kejutan Menarik dari Pilkada DKI
By : Unknown
Oleh :
Aris Ali Ridho
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fisip Unila
Pada 20 September yang lalu, warga DKI Jakarta telah menyelenggarakan suksesi lima tahunan, yaitu pilkada gubernur putaran kedua dengan lancar dan aman. Barangkali, selama pelaksanaan pilkada langsung diterapkan, pilkada DKI tahun 2012 ini menjadi pilkada yang paling menarik yang pernah ada di Indonesia sejauh ini. Jakarta menjadi sesuatu yang sangat menarik, apabila mempertimbangkan Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus pusat ekonomi dan bisnis nasional, dengan karakteristik masyarakatnya yang cukup hiterogen. Yang tidak kalah penting lainnya adalah Jakarta juga memiliki segudang persoalannya yang cukup kompleks, dari kemacetan, banjir, kemiskinan, kumuh, dan kriminalitas adalah pemandangan Jakarta sehari-hari. Beberapa hal tersebut mungkin tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Dalam kondisi demikian ini, Jakarta memang membutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar mampu untuk membawa perubahan Jakarta dan keluar dari kompleksitas permasalahan yang membelitnya.
Berdasarkan hasil penghitungan cepat (quick count) dari beberapa lembaga survei memang memberikan kejutan, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) berhasil mengalahkan calon petahana Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli (Foke– Nara). Hampir dipastikan penyelenggaraan pilkada tersebut tanpa menimbulkan ricuh atau konflik dan gugatan sengketa pilkada ke MK.
Konstelasi politik dalam pilkada DKI semakin menarik ketika memasuki babak kedua, dimana ada beberapa catatan mengenai peristiwa yang terjadi pada fase tersebut. Yang pertama, pasca pilkada putaran pertama yang menetapkan pasangan Jokowi-Ahok unggul dalam perolehan suara dan melaju pada putaran kedua bersama pasangan Foke-Nara yang berada diurutan kedua. Beberapa partai politik yang pada putaran pertama kompak menyerang calon petahana justru berbalik arah dan berjamaah mendukung pasangan Foke-Nara.
Hampir seluruh partai politik dari partai besar pemenang pemilu sampai partai gurem turut memberikan dukungannya kepada Foke-Nara, kecuali PDIP dan Gerindra yang dari awal konsisten mengusung Jokowi-Ahok. Namun besarnya dukungan partai politik kepada Foke-Nara ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah perolehannya pada putaran kedua. Catatan kedua adalah maraknya black campaign berupa isu-isu menyangkut SARA yang terjadi pada rentang waktu itu. Isu SARA diawali dari ceramah raja dangdut Rhoma Irama, disalah satu masjid yang mewajibkan memilih pemimpin yang seiman. Isu yang dimainkan untuk mempengaruhi pilihan warga DKI tersebut juga terbukti tidak efektif, dari hasil survei LSI menyimpulkan bahwa meskipun muslim DKI proporsinya 85% dari total penduduk serta saleh secara personal dan sosial tetapi cenderung sekuler dalam urusan politik.
Warga DKI sepertinya ingin membuktikan, bahwa Jakarta memang layak untuk dijadikan barometer Indonesia dalam segala hal, termasuk politik. Warga DKI adalah masyarakat yang cerdas dalam memilih pemimpinnya, tidak lagi berpatokan kepada langkah dan dukungan partai politik. Hal ini dibuktikan dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) beberapa hari sebelum pemilihan yang menunjukan bahwa faktor dukungan partai tidak banyak berpengaruh, karena pemilih cenderung melihat pada figur atau profil kandidat.
Kemenangan Jokowi-Ahok jelas benar-benar merupakan sebuah kejutan menarik bukan hanya untuk warga DKI, tetapi juga untuk rakyat Indonesia. Dua putra daerah asal Solo dan Belitung Timur tersebut, berhasil mengungguli lawan tangguhnya yang merupakan putra asli DKI Foke-Nara yang notabene adalah orang betawi yang lahir dan besar di Jakarta. Foke dinilai cukup menonjol dalam pengalaman memerintah di DKI dan sudah lebih dikenal oleh masyarakat setelah lima tahun memimpin. Namun nampaknya warga DKI menunjukkan bahwa Jakarta sedang merindukan sosok transformatif dan punya semangat komunitarianisme.
Pasangan Jokowi-Ahok tersebut dinilai memiliki integritas moral yang baik serta memiliki keberanian dan ketegasan dalam melaksanakan gagasannya. Selain itu, Jokowi yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Ahok yang mantan Bupati Belitung Timur ini juga dipandang lebih aspiratif daripada pasangan petahan
Jokowi unggul dalam citra bisa dipercaya/bersih dari korupsi, menyenangkan, ramah, hangat, dan perhatian. Selain itu, faktor dukungan media juga turut berperan besar dalam proses pembentukan citra baik terhadap Jokowi. Berbeda lagi dengan Foke, yang lebih mendapatkan citra miring atas evaluasi kinerjanya sebagai petahana yang banyak dipersepsikan gagal. Stigma kegagalan tersebut memalingkan pilihan warga kepada wajah penantang yang dianggap mampu memberi harapan baru. Selain itu buruknya citra Foke juga diperparah oleh sikap elite-elite partai politik yang ramai-ramai mendukung pasangan ini sehingga justru menimbulkan gelombang kritik dan kecaman publik.
Kepemimpinan Lampung
Lampung memang bukan DKI, akan tetapi Lampung juga merindukan figur transformatif, bersih, sederhana, dan dekat dengan rakyatnya, seperti halnya Jokowi di DKI. Kepemimpinan Lampung kedepan, juga perlu dicari sosok alternatif baru yang mampu membawa perubahan Lampung kearah yang lebih baik lagi. Dalam konteks ini, media menjadi andalan yang paling memungkinkan untuk memunculkan figur tersebut. Media harus turut andil dalam menawarkan sosok alternatif untuk kepemimpinan Lampung kedepan dengan independent dan professional tanpa ditunggangi oleh politisi untuk melakukan pencitraannya. Keberpihakan media mesti jelas, agar tujuan media untuk memberikan percedasan sekaligus pendidikan politik yang benar dapat terwujud, bukan malah melakukan pembodohan dengan ‘obral pencitraan’ dari ‘pemesan’.
Pilkada DKI pada 20 September yang lalu, setidaknya menunjukan perkembangan yang positif dalam proses demokrasi di Indonesia ditengah kondisi masyarakat yang semakin jenuh, apatis dengan politik, dan tidak percaya pada sistem demokrasi. Tentunya hal ini bisa menjadi sumber inspirasi baru dalam dinamika politik dan hakikat kepemimpinan publik. Semoga kejutan menarik juga akan datang dalam pilkada Lampung kedepan. Amin. (*).
Berdasarkan hasil penghitungan cepat (quick count) dari beberapa lembaga survei memang memberikan kejutan, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) berhasil mengalahkan calon petahana Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli (Foke– Nara). Hampir dipastikan penyelenggaraan pilkada tersebut tanpa menimbulkan ricuh atau konflik dan gugatan sengketa pilkada ke MK.
Konstelasi politik dalam pilkada DKI semakin menarik ketika memasuki babak kedua, dimana ada beberapa catatan mengenai peristiwa yang terjadi pada fase tersebut. Yang pertama, pasca pilkada putaran pertama yang menetapkan pasangan Jokowi-Ahok unggul dalam perolehan suara dan melaju pada putaran kedua bersama pasangan Foke-Nara yang berada diurutan kedua. Beberapa partai politik yang pada putaran pertama kompak menyerang calon petahana justru berbalik arah dan berjamaah mendukung pasangan Foke-Nara.
Hampir seluruh partai politik dari partai besar pemenang pemilu sampai partai gurem turut memberikan dukungannya kepada Foke-Nara, kecuali PDIP dan Gerindra yang dari awal konsisten mengusung Jokowi-Ahok. Namun besarnya dukungan partai politik kepada Foke-Nara ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah perolehannya pada putaran kedua. Catatan kedua adalah maraknya black campaign berupa isu-isu menyangkut SARA yang terjadi pada rentang waktu itu. Isu SARA diawali dari ceramah raja dangdut Rhoma Irama, disalah satu masjid yang mewajibkan memilih pemimpin yang seiman. Isu yang dimainkan untuk mempengaruhi pilihan warga DKI tersebut juga terbukti tidak efektif, dari hasil survei LSI menyimpulkan bahwa meskipun muslim DKI proporsinya 85% dari total penduduk serta saleh secara personal dan sosial tetapi cenderung sekuler dalam urusan politik.
Warga DKI sepertinya ingin membuktikan, bahwa Jakarta memang layak untuk dijadikan barometer Indonesia dalam segala hal, termasuk politik. Warga DKI adalah masyarakat yang cerdas dalam memilih pemimpinnya, tidak lagi berpatokan kepada langkah dan dukungan partai politik. Hal ini dibuktikan dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) beberapa hari sebelum pemilihan yang menunjukan bahwa faktor dukungan partai tidak banyak berpengaruh, karena pemilih cenderung melihat pada figur atau profil kandidat.
Kemenangan Jokowi-Ahok jelas benar-benar merupakan sebuah kejutan menarik bukan hanya untuk warga DKI, tetapi juga untuk rakyat Indonesia. Dua putra daerah asal Solo dan Belitung Timur tersebut, berhasil mengungguli lawan tangguhnya yang merupakan putra asli DKI Foke-Nara yang notabene adalah orang betawi yang lahir dan besar di Jakarta. Foke dinilai cukup menonjol dalam pengalaman memerintah di DKI dan sudah lebih dikenal oleh masyarakat setelah lima tahun memimpin. Namun nampaknya warga DKI menunjukkan bahwa Jakarta sedang merindukan sosok transformatif dan punya semangat komunitarianisme.
Pasangan Jokowi-Ahok tersebut dinilai memiliki integritas moral yang baik serta memiliki keberanian dan ketegasan dalam melaksanakan gagasannya. Selain itu, Jokowi yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Ahok yang mantan Bupati Belitung Timur ini juga dipandang lebih aspiratif daripada pasangan petahan
Jokowi unggul dalam citra bisa dipercaya/bersih dari korupsi, menyenangkan, ramah, hangat, dan perhatian. Selain itu, faktor dukungan media juga turut berperan besar dalam proses pembentukan citra baik terhadap Jokowi. Berbeda lagi dengan Foke, yang lebih mendapatkan citra miring atas evaluasi kinerjanya sebagai petahana yang banyak dipersepsikan gagal. Stigma kegagalan tersebut memalingkan pilihan warga kepada wajah penantang yang dianggap mampu memberi harapan baru. Selain itu buruknya citra Foke juga diperparah oleh sikap elite-elite partai politik yang ramai-ramai mendukung pasangan ini sehingga justru menimbulkan gelombang kritik dan kecaman publik.
Kepemimpinan Lampung
Lampung memang bukan DKI, akan tetapi Lampung juga merindukan figur transformatif, bersih, sederhana, dan dekat dengan rakyatnya, seperti halnya Jokowi di DKI. Kepemimpinan Lampung kedepan, juga perlu dicari sosok alternatif baru yang mampu membawa perubahan Lampung kearah yang lebih baik lagi. Dalam konteks ini, media menjadi andalan yang paling memungkinkan untuk memunculkan figur tersebut. Media harus turut andil dalam menawarkan sosok alternatif untuk kepemimpinan Lampung kedepan dengan independent dan professional tanpa ditunggangi oleh politisi untuk melakukan pencitraannya. Keberpihakan media mesti jelas, agar tujuan media untuk memberikan percedasan sekaligus pendidikan politik yang benar dapat terwujud, bukan malah melakukan pembodohan dengan ‘obral pencitraan’ dari ‘pemesan’.
Pilkada DKI pada 20 September yang lalu, setidaknya menunjukan perkembangan yang positif dalam proses demokrasi di Indonesia ditengah kondisi masyarakat yang semakin jenuh, apatis dengan politik, dan tidak percaya pada sistem demokrasi. Tentunya hal ini bisa menjadi sumber inspirasi baru dalam dinamika politik dan hakikat kepemimpinan publik. Semoga kejutan menarik juga akan datang dalam pilkada Lampung kedepan. Amin. (*).