Tanggapan Elemen Soal Tertangkapnya Ketua MK
By : Unknown
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar turut
menuai sorotan dari berbagai kalangan. Bagaimana tidak, tindakan ini
benar-benar mencoreng lembaga yang setiap keputusannya menyangkut hidup
orang banyak.
Dosen Hukum Tatanegara Unila Dr. Budiono mengaku kaget setelah mengetahui Ketua MK tertangkap tangan menerima suap yang nilainya berkisar Rp 3 miliar.
"Saya sedih apalagi ini Ketua MK nya. Lembaga yang selama ini kita anggap paling bersih setelah KPK ternyata justru menjadi contoh yang buruk, ini benar-benar mencoreng, apalagi MK ini menyidangkan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kaget lah kita," kata dia saat menghadiri rapat Raperda Tata Organisasi PDAM di Kantor DPRD Bandar Lampung, kemarin (3-10).
Jika terbukti, ia berharap penegak hukum bisa menjatuhkan hukuman maksimal. "Karena ini menyangkut citra hukum. Merusak citra MK yang selama ini kita anggap bersih," tandasnya.
Terpisah, Sekretaris Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Lampung Aris Ali Ridho berduka atas ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar. Mereka berharap ini bukan bertanda bangkrut dan gagalnya negara. Sebab, korupsi telah merambah ke lembaga negara yang keputusannya bersifat final dan mengikat.
Ia juga menyayangkan aksi kriminal paling sadis ini juga melibatkan 3 pilar demokrasi yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. "MK telah gagal menjadi salah satu penyambung pilar demokrasi lainnya. Tentu ini akan menjadi ancaman demokrasi Indonesia," kata dia.
Ia juga bertanya kepada siapa lagi rakyat harus percaya jika MK yang selama ini dinilai sebagai lembaga yang kredibel dan independen sudah terkontaminasi. "Harapan kami saat ini hanya kepada pers saja. Maka kami PKC PMII Lampung akan menginstruksikan kepada 8 Pengurus Cabang PMII se Lampung untuk mengibarkan bendera setengah tiang dan menggelar tahlilan tujuh hari tujuh malam berdoa agar Indonesia tidak menjadi negara yang bangkrut karena korup," pungkasnya.()
Dosen Hukum Tatanegara Unila Dr. Budiono mengaku kaget setelah mengetahui Ketua MK tertangkap tangan menerima suap yang nilainya berkisar Rp 3 miliar.
"Saya sedih apalagi ini Ketua MK nya. Lembaga yang selama ini kita anggap paling bersih setelah KPK ternyata justru menjadi contoh yang buruk, ini benar-benar mencoreng, apalagi MK ini menyidangkan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kaget lah kita," kata dia saat menghadiri rapat Raperda Tata Organisasi PDAM di Kantor DPRD Bandar Lampung, kemarin (3-10).
Jika terbukti, ia berharap penegak hukum bisa menjatuhkan hukuman maksimal. "Karena ini menyangkut citra hukum. Merusak citra MK yang selama ini kita anggap bersih," tandasnya.
Terpisah, Sekretaris Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Lampung Aris Ali Ridho berduka atas ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar. Mereka berharap ini bukan bertanda bangkrut dan gagalnya negara. Sebab, korupsi telah merambah ke lembaga negara yang keputusannya bersifat final dan mengikat.
Ia juga menyayangkan aksi kriminal paling sadis ini juga melibatkan 3 pilar demokrasi yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. "MK telah gagal menjadi salah satu penyambung pilar demokrasi lainnya. Tentu ini akan menjadi ancaman demokrasi Indonesia," kata dia.
Ia juga bertanya kepada siapa lagi rakyat harus percaya jika MK yang selama ini dinilai sebagai lembaga yang kredibel dan independen sudah terkontaminasi. "Harapan kami saat ini hanya kepada pers saja. Maka kami PKC PMII Lampung akan menginstruksikan kepada 8 Pengurus Cabang PMII se Lampung untuk mengibarkan bendera setengah tiang dan menggelar tahlilan tujuh hari tujuh malam berdoa agar Indonesia tidak menjadi negara yang bangkrut karena korup," pungkasnya.()
Sumber : Lampung Post, Sabtu, 04 September 2013
Tag :
berita,
PKC PMII Lampung Gelar Pelantikan dan Muker
By : Unknown
Dalam rangka mengawali agenda-agenda besar selama dua tahun
mendatang, keluarga besar Pimpinan Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Provinsi Lampung mengadakan Musyawarah
Kerja Koordinator Cabang.
Aris Ali Ridho, sekretaris umum PKC PMII Lampung kepada kontributor
berita9online setempat mengatakan, agenda Musker PKC PMII Lampung ini di
adakan di komplek Pondok Pesantren Darul A’mal Kota Metro – Lampung,
selama dua hari, Sabtu-Minggu, 28-29 September 2013 bertepatan 22-23
Dulqo’dah 1434. Dengan mengusung tema,“Melakukan Kesadaran Kolektif
dalam Bingkai Kaderisasi Menuju Pembangunan Lampung Adil dan Sejahtera”.
Dalam Musker terbagi menjadi beberapa komisi, yaitu : pertama, komisi
kaderisasi dan pembangunan sumber daya anggota. Kedua, komisi
pendayagunaan dan kelembagaan organisasi. Ketiga, komisi advokasi hukum
dan hak asasi manusia. Keempat, komisi keagamaan dan jaringan pesantren.
Kelima, komisi komunikasi dan kerjasama lintas OKP dan ormas. Keenam,
komisi pengembangan pemikiran dan IPTEK. Dan ketujuh, komisi, hubungan
alumni dan sosial kemasyarakatan.
“Sebelum diadakan Musker terlebih dahulu dilaksanakan pelantikan
pengurus PKC PMII Lampung masa khidmat 201-2015 oleh Ketua Umum PB PMII
sahabat Addin Jauharudin”, tambahnya yang juga alumni FISIP Universitas
Lampung itu.
Berjikut susunan pengurus berdasarkan Surat Keputusan PB PMII Nomor :
292.PB-XVIII.01-292.A-I.05.2013 tentang Sususun Pengurus PKC PMII
Lampung masa khidmat 2013 – 2015:
Majelis Pembina Daerah ( Mabinda) :
Ketua : H. Muchtar Luthfie, SH, MM, MH
Sekretaris : H. Fajrun Najah Ahmad
Anggota :
Rustam Effendi Damara, SE, MM
Dr. KH. Khoiruddin Tahmid, MH
Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M. Ag
Drs. H. Musa Zainudin
Drs. H. Munzir AS
Drs. Lazuardi Alwi
Thamrin Ferly, SE
H. Bustami Zainudin, S.Pd
Ir. H. Mustafa, MH
Drs. Alhuda Muhajirin
Dedy Mawardi, SH, MH
Syahrudin Putra, S. Sos, MM
Erlina, SP, MH
Solihin, S.Pd.I, MH
Rudi, SH, LLM, LLD
Hargito, S.Ag
Agus Toni, S. Ag
Imam Wahyudianto, S.Pd.I
Edi Sudrajat, S.Th.I
Dadin Ahmadin, S.Sos.I
Eka Putra Jaya
Badan Pengurus Harian (BPH) :
Ketua Umum : Arief Rahman Hakim
Ketua : Kahfi
Ketua : Andi Putra
Ketua : Ifhthoro Indra Kesuma
Ketua : Agus Setiono
Ketua : M. Ikromudin Wahab
Ketua : Ronansyah
Ketua : Magama Sastra TN
Sekretaris Umum : Aris Ali Ridho
Sekretaris : Nopriansyah Harianto
Sekretaris : Ramzi Ramdo
Sekretaris : Yayan Akbar
Sekretaris : Ryan Armando
Sekretaris : Aan Uly Rosyadi
Sekretaris : Andika Wijaya
Sekretaris : Muhammad Rifai
Bendahara Umum : Siti Wuriyan
Bendahara : Bozda Wizard P
Sumber : Berita 9 Online, 3 Oktober 2013
Majelis Pembina Daerah ( Mabinda) :
Ketua : H. Muchtar Luthfie, SH, MM, MH
Sekretaris : H. Fajrun Najah Ahmad
Anggota :
Rustam Effendi Damara, SE, MM
Dr. KH. Khoiruddin Tahmid, MH
Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M. Ag
Drs. H. Musa Zainudin
Drs. H. Munzir AS
Drs. Lazuardi Alwi
Thamrin Ferly, SE
H. Bustami Zainudin, S.Pd
Ir. H. Mustafa, MH
Drs. Alhuda Muhajirin
Dedy Mawardi, SH, MH
Syahrudin Putra, S. Sos, MM
Erlina, SP, MH
Solihin, S.Pd.I, MH
Rudi, SH, LLM, LLD
Hargito, S.Ag
Agus Toni, S. Ag
Imam Wahyudianto, S.Pd.I
Edi Sudrajat, S.Th.I
Dadin Ahmadin, S.Sos.I
Eka Putra Jaya
Badan Pengurus Harian (BPH) :
Ketua Umum : Arief Rahman Hakim
Ketua : Kahfi
Ketua : Andi Putra
Ketua : Ifhthoro Indra Kesuma
Ketua : Agus Setiono
Ketua : M. Ikromudin Wahab
Ketua : Ronansyah
Ketua : Magama Sastra TN
Sekretaris Umum : Aris Ali Ridho
Sekretaris : Nopriansyah Harianto
Sekretaris : Ramzi Ramdo
Sekretaris : Yayan Akbar
Sekretaris : Ryan Armando
Sekretaris : Aan Uly Rosyadi
Sekretaris : Andika Wijaya
Sekretaris : Muhammad Rifai
Bendahara Umum : Siti Wuriyan
Bendahara : Bozda Wizard P
Sumber : Berita 9 Online, 3 Oktober 2013
Tag :
berita,
Kader PMII Jangan Orientasi pada Jabatan
By : Unknown
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Seluruh pengurus
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) se-Lampung diharapkan
meningkatkan kualitas keimanan, kualitas intelektualitas, dan kualitas
kekaderan. Kader PMII tidak boleh beroreintasi pada jabatan.
Demikian disampaikan Sekretaris Majelis Pembina (Mabinda) Pengurus Korcab PMII Provinsi Lampung, Fajrun Najah Ahmad saat pelantikan PKC PMII Lampung di Pondok Pesantren Darul Amal, Metro, Sabtu (28/9/2013).
Dikatakanya, hanya dengan kualitas yang handal dan teruji, kader-kader PMII akan tetap survive dalam pergulatan kehidupan dan menjadi benteng bagi umat Islam dalam jalankan akidah Ahlussunnah wal Jamaah. "Berbagai aliran keagamaan yang muncul belakangan hendaknya disikapi dengan arif dan bijak, sepanjang tidak bertentangan dengan Alquran, Alhadits, ijma' dan qiyas yang jadi pegangan kaum nahdliyin," jelas Fajrun melalui rilisnya kepada Tribun, Sabtu (28/9/2013) malam.(*)
Sumber : Tribun Lampung, Sabtu, 28 September 2013
Tag :
berita,
Pilgub 2015 Inkonstitusional
By : Unknown
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemilihan Gubernur Lampung 2015 inkonstitusional dan mematikan proses demokrasi yang diamanatkan UUD 1945. Penundaan pilgub tersebut akan melahirkan pemimpin yang bukan dipilih rakyat.
Hal tersebut diungkapkan pengamat hukum tata negara Universitas Lampung, Rudi, dalam diskusi politik yang diadakan Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Bandar Lampung di sekretariatnya, Sabtu (24-8).
Menurut Rudi, dari segi konstitusi mensyaratkan pemilukada dipilih secara demokratis. Jika pilgub tahun 2015, gubernur adalah seorang pelaksana tugas (plt.) yang bukan dipilih rakyat, tetapi dipilih oleh Pemerintah Pusat.
"Saya sangat tidak sependapat dengan wacana Jimly soal pilgub 2015, karena itu inkonstitusional. Dalam UUD 1945 Pasal 18 dijelaskan soal kepala daerah harus dipilih secara demokratis. Adanya plt., artinya selama setahun kita memiliki kepala daerah yang tidak dipilih rakyat," kata Rudi.
Pilgub bersamaan dengan pilpres tahun 2014, kata dia, tidak memenuhi aspek demokrasi substantif. Pesta demokrasi yang dilangsungkan secara bersamaan itu membuat masyarakat tidak mempunyai fokus saat melakukan pemilihan. Masyarakat akan sulit memilih program calon presiden sekaligus program calon gubernur.
Begitupun jika pilgub berbarengan dengan pemilu legislatif. Rudi menjelaskan UU 12/2008 juncto UU 32/2004 menganalogikan bahwa pemilukada tidak bisa berbarengan dengan pileg dan pilpres, tetapi memang tidak disebutkan secara eksplisit. Namun, penafsiran hukum jelas bahwa pembentukan undang-undang itu tidak menginginkan pemilukada berbarengan dengan pileg dan pilpres.
Mengenai dana pilgub yang masih belum jelas, lanjut Rudi, sebenarnya hal ini bisa dicegah jika sebelumnya KPU bisa membangun komunikasi yang baik dengan DPRD. Lembaga legislatif bisa menekan eksektif dalam pembahasan APBD Perubahan 2013.
Dia menambahkan ada kelemahan dalam UU 32/2004 juncto UU 12/2008 yang menyebut anggaran pemilukada dialokasikan dalam APBD. Akhirnya, jika Pemprov tidak mau menganggarkan, penyelenggaraaan pemilukada jadi terganggu.
Rudi mengusulkan agar penyelenggaraan pilgub pada awal 2014 sebelum tahapan kampanye pileg dan pilpres. Hal itu yang paling raelistis untuk menunda tahapan pilgub yang sudah berjalan.
Namun, jangan sampai pilgub bersamaan dengan kegiatan kampanye pileg dan pilpres. Sementara itu, Ketua PMII Lampung Arief Rahman Hakim mengatakan polemik jadwal pilgub sangat tidak mendidik masyarakat.
Saat ini diperlukan sikap kenegarawan kaum elite politik untuk bersama-sama membicarakan yang terbaik demi kepentingan yang lebih besar. Dia menambahkan PMII tidak terjebak untuk mendukung pilgub 2013 atau 2015. PMII ingin memberikan pendidikan demokrasi kepada masyarakat. (CR11/U3).
Sumber : Lampung Post, 26 Agustus 2013
Hal tersebut diungkapkan pengamat hukum tata negara Universitas Lampung, Rudi, dalam diskusi politik yang diadakan Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Bandar Lampung di sekretariatnya, Sabtu (24-8).
Menurut Rudi, dari segi konstitusi mensyaratkan pemilukada dipilih secara demokratis. Jika pilgub tahun 2015, gubernur adalah seorang pelaksana tugas (plt.) yang bukan dipilih rakyat, tetapi dipilih oleh Pemerintah Pusat.
"Saya sangat tidak sependapat dengan wacana Jimly soal pilgub 2015, karena itu inkonstitusional. Dalam UUD 1945 Pasal 18 dijelaskan soal kepala daerah harus dipilih secara demokratis. Adanya plt., artinya selama setahun kita memiliki kepala daerah yang tidak dipilih rakyat," kata Rudi.
Pilgub bersamaan dengan pilpres tahun 2014, kata dia, tidak memenuhi aspek demokrasi substantif. Pesta demokrasi yang dilangsungkan secara bersamaan itu membuat masyarakat tidak mempunyai fokus saat melakukan pemilihan. Masyarakat akan sulit memilih program calon presiden sekaligus program calon gubernur.
Begitupun jika pilgub berbarengan dengan pemilu legislatif. Rudi menjelaskan UU 12/2008 juncto UU 32/2004 menganalogikan bahwa pemilukada tidak bisa berbarengan dengan pileg dan pilpres, tetapi memang tidak disebutkan secara eksplisit. Namun, penafsiran hukum jelas bahwa pembentukan undang-undang itu tidak menginginkan pemilukada berbarengan dengan pileg dan pilpres.
Mengenai dana pilgub yang masih belum jelas, lanjut Rudi, sebenarnya hal ini bisa dicegah jika sebelumnya KPU bisa membangun komunikasi yang baik dengan DPRD. Lembaga legislatif bisa menekan eksektif dalam pembahasan APBD Perubahan 2013.
Dia menambahkan ada kelemahan dalam UU 32/2004 juncto UU 12/2008 yang menyebut anggaran pemilukada dialokasikan dalam APBD. Akhirnya, jika Pemprov tidak mau menganggarkan, penyelenggaraaan pemilukada jadi terganggu.
Rudi mengusulkan agar penyelenggaraan pilgub pada awal 2014 sebelum tahapan kampanye pileg dan pilpres. Hal itu yang paling raelistis untuk menunda tahapan pilgub yang sudah berjalan.
Namun, jangan sampai pilgub bersamaan dengan kegiatan kampanye pileg dan pilpres. Sementara itu, Ketua PMII Lampung Arief Rahman Hakim mengatakan polemik jadwal pilgub sangat tidak mendidik masyarakat.
Saat ini diperlukan sikap kenegarawan kaum elite politik untuk bersama-sama membicarakan yang terbaik demi kepentingan yang lebih besar. Dia menambahkan PMII tidak terjebak untuk mendukung pilgub 2013 atau 2015. PMII ingin memberikan pendidikan demokrasi kepada masyarakat. (CR11/U3).
Sumber : Lampung Post, 26 Agustus 2013
Tag :
Hukum dan Ham,
Ramadhan dan ‘Sedekah Politik’
By : Unknown
Oleh:
Aris Ali Ridho
Sekretaris Umum Pengurus Koordinator Cabang
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Provinsi Lampung
Pada bulan Ramadhan umat muslim memang dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, salah satunya melalui sedekah. Bersedekah memang tidak hanya dikhususkan pada bulan Ramadhan saja, namun dia adalah amalan sunat dan disyariatkan di setiap waktu. Akan tetapi waktu bersedekah dan berzakat pada bulan Ramadhan adalah waktu yang utama dan mulia.
Keberkahan dan beribu keutamaan yang ditawarkan di bulan ini, memotivasi umat muslim untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dan ibadah. Namun, Ramadhan tahun ini, nampak terlihat berbeda. Intentitas bersedekah umat muslim di Indonesia terlihat lebih dibanding dengan bulan Ramadhan sebelumnya bahkan dengan bulan-bulan lain. Hampir disetiap Panti Asuhan, Masjid/Mushala, atau tempat-tempat lain di sudut kota hingga pelosok desa, terlihat selalu ada yang bersedekah setiap harinya. Di media massa, pemberitaan tentang orang bersedekah juga lebih ramai dari biasanya.
‘Berkah’ Tahun Politik
Momentum Ramadhan selain untuk meraup sebesar dan sebanyak mungkin keberkahan bulan suci dan mulia ini, ternyata juga dapat dijadikan ajang untuk mengeruk keuntungan tertentu di luar ibadah kepada Yang Maha Kuasa. Bahkan, bukan tidak mungkin pihak-pihak tertentu akan memanfaatkan momentum Ramadhan untuk kepentingan politik. Ya, nuansa Ramadhan kali ini terlihat berbeda karena bertepatan dengan tahun politik dimana agenda politik lokal dan nasional yang akan segera berlangsung.
Pelaksanaan pemilihan gubernur (pilgub) Lampung 2013 serta pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) pada tahun 2014, bisa jadi memberikan ‘berkah’ tersendiri bagi sebagian umat muslim di Lampung. Momentum Ramadhan kali ini jelas banyak dimanfaatkan oleh para politisi, terutama oleh kompetitor pilgub Lampung dan calon anggota legislatif (caleg) untuk berlomba-lomba dalam mengkampanyekan dirinya.
Ramadhan menjadi momentum untuk starting point para cagub-cawagub serta caleg dalam mencari simpati pendukungnya demi keperluan pilgub dan pileg nanti. Melalui berbagai kegiatan seperti buka dan sahur bersama, safari ramadhan/terawih keliling, ceramah, dll, mereka berusaha mencuri hati rakyat. Untuk lebih meyakinkan bahwa dirinya adalah calon pemimpin/wakil rakyat yang peduli, dermawan, dan layak dipilih, maka memberikan sedekah seperti zakat, santunan, infak, THR, pembagian sembako/sarung dan lain sebagainya rela dikeluarkan dalam jumlah besar.
Mendapatkan simpati dan dukungan politik melalui bersedekah adalah ‘berkah’ bagi para cagub-cawagub serta caleg yang akan bertarung pada pilgub dan pileg nanti. Mungkin begitu pula bagi rakyat, mendapatkan perhatian dan rezki dari sedekah para politisi adalah ‘berkah’ dari bulan Ramadhan.
Antara ‘Sedekah’ dan ‘Money Politics’
Hendaknya bersedekah terlebih pada bulan Ramadhan mesti dilakukan dengan penuh keikhlasan dan didasari niat semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Sejatinya yang namanya sedekah itu disebut sedekah hanya karena ketulusan niat pemberinya tanpa pamrih atau mengharapkan imbalan apapun, dan juga bukan bermaksud pamer. Melakukan sedekah karena didasari oleh kepentingan tertentu, terlebih hanya ingin memengaruhi penerimanya untuk memenuhi harapan si pemberi, tidaklah lagi dapat disebut sebagai sedekah. Dalam istilah agama, praktik tersebut lebih dikenal dengan risywah siyasiyah yang dalam politik lebih mengarah kepada money politics.
Nahdlatul Ulama (NU) pada Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU tahun 2012 yang lalu pun pernah membahasnya, dan menetapkan fatwa haram tentang ‘sedekah’ dan zakat yang secara langsung atau tidak langsung dikaitkan dengan kepentingan politik, terutama untuk mempengaruhi pilihan seseorang. Sedekah tersebut termasuk dalam kategori risywah atau suap yang dihukumi haram, baik bagi pihak pemberi maupun penerima. Sehingga konsekuensinya menjadi haram pula hukumnya untuk memilih calon yang memberikan ‘sedekah’ tersebut.
Sementara untuk sedekah, zakat, atau pemberian lain yang tidak jelas-jelas dipahami oleh penerima bahwa pemberian itu dimaksudkan agar ia memilih calon yang memberikan pemberian itu, maka hukumnya mubah atau boleh bagi penerima, namun haram bagi pihak pemberi. Praktek tersebut jelas akan merusak kesucian bulan Ramadhan dan menganggu kekhusyu’an pelaksanaan ibadah puasa umat muslim.
Padahal bulan Ramadan, keampunan dan rahmat Allah SWT sangat terbuka lebar bagi umat muslim yang melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, pada bulan yang suci ini jangan sampai dikotori oleh perbuatan dan tradisi-tradisi yang merusak nilai agama. Bersedekah haruslah ikhlas semata-mata hanya untuk Allah SWT, tanpa dikait-kaitkan dengan kepentingan apapun. Meskipun tidak ada yang bisa menjaminnya bahwa ‘sedekah’ tersebut tidak akan mendapatkan pahala, karena urusan pahala dari setiap kebajikan, sekecil apapun itu adalah urusan hamba dengan Tuhan-nya, karena hanya Allah yang Maha Tahu apa yang ada di hati setiap hamba-Nya.
Ramadhan kali ini, harus dijadikan momentum oleh umat muslim Lampung untuk lebih cerdas dalam berpikir dan bertindak dalam menghadapi tahun politik. Tidaklah layak memilih calon pemimpin yang berambisi untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaannya dengan menempuh segala cara, terlebih dengan mengotori bulan yang suci. Ramadan ini harus dimaknai sebagai sebagai bulan pembersih diri sekaligus masa pencarian pemimpin yang bersih dan ikhlas untuk mengabdi. Adakah yang demikian?. Wallahu a’lam Bishawab! (*).
Keberkahan dan beribu keutamaan yang ditawarkan di bulan ini, memotivasi umat muslim untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dan ibadah. Namun, Ramadhan tahun ini, nampak terlihat berbeda. Intentitas bersedekah umat muslim di Indonesia terlihat lebih dibanding dengan bulan Ramadhan sebelumnya bahkan dengan bulan-bulan lain. Hampir disetiap Panti Asuhan, Masjid/Mushala, atau tempat-tempat lain di sudut kota hingga pelosok desa, terlihat selalu ada yang bersedekah setiap harinya. Di media massa, pemberitaan tentang orang bersedekah juga lebih ramai dari biasanya.
‘Berkah’ Tahun Politik
Momentum Ramadhan selain untuk meraup sebesar dan sebanyak mungkin keberkahan bulan suci dan mulia ini, ternyata juga dapat dijadikan ajang untuk mengeruk keuntungan tertentu di luar ibadah kepada Yang Maha Kuasa. Bahkan, bukan tidak mungkin pihak-pihak tertentu akan memanfaatkan momentum Ramadhan untuk kepentingan politik. Ya, nuansa Ramadhan kali ini terlihat berbeda karena bertepatan dengan tahun politik dimana agenda politik lokal dan nasional yang akan segera berlangsung.
Pelaksanaan pemilihan gubernur (pilgub) Lampung 2013 serta pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) pada tahun 2014, bisa jadi memberikan ‘berkah’ tersendiri bagi sebagian umat muslim di Lampung. Momentum Ramadhan kali ini jelas banyak dimanfaatkan oleh para politisi, terutama oleh kompetitor pilgub Lampung dan calon anggota legislatif (caleg) untuk berlomba-lomba dalam mengkampanyekan dirinya.
Ramadhan menjadi momentum untuk starting point para cagub-cawagub serta caleg dalam mencari simpati pendukungnya demi keperluan pilgub dan pileg nanti. Melalui berbagai kegiatan seperti buka dan sahur bersama, safari ramadhan/terawih keliling, ceramah, dll, mereka berusaha mencuri hati rakyat. Untuk lebih meyakinkan bahwa dirinya adalah calon pemimpin/wakil rakyat yang peduli, dermawan, dan layak dipilih, maka memberikan sedekah seperti zakat, santunan, infak, THR, pembagian sembako/sarung dan lain sebagainya rela dikeluarkan dalam jumlah besar.
Mendapatkan simpati dan dukungan politik melalui bersedekah adalah ‘berkah’ bagi para cagub-cawagub serta caleg yang akan bertarung pada pilgub dan pileg nanti. Mungkin begitu pula bagi rakyat, mendapatkan perhatian dan rezki dari sedekah para politisi adalah ‘berkah’ dari bulan Ramadhan.
Antara ‘Sedekah’ dan ‘Money Politics’
Hendaknya bersedekah terlebih pada bulan Ramadhan mesti dilakukan dengan penuh keikhlasan dan didasari niat semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Sejatinya yang namanya sedekah itu disebut sedekah hanya karena ketulusan niat pemberinya tanpa pamrih atau mengharapkan imbalan apapun, dan juga bukan bermaksud pamer. Melakukan sedekah karena didasari oleh kepentingan tertentu, terlebih hanya ingin memengaruhi penerimanya untuk memenuhi harapan si pemberi, tidaklah lagi dapat disebut sebagai sedekah. Dalam istilah agama, praktik tersebut lebih dikenal dengan risywah siyasiyah yang dalam politik lebih mengarah kepada money politics.
Nahdlatul Ulama (NU) pada Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU tahun 2012 yang lalu pun pernah membahasnya, dan menetapkan fatwa haram tentang ‘sedekah’ dan zakat yang secara langsung atau tidak langsung dikaitkan dengan kepentingan politik, terutama untuk mempengaruhi pilihan seseorang. Sedekah tersebut termasuk dalam kategori risywah atau suap yang dihukumi haram, baik bagi pihak pemberi maupun penerima. Sehingga konsekuensinya menjadi haram pula hukumnya untuk memilih calon yang memberikan ‘sedekah’ tersebut.
Sementara untuk sedekah, zakat, atau pemberian lain yang tidak jelas-jelas dipahami oleh penerima bahwa pemberian itu dimaksudkan agar ia memilih calon yang memberikan pemberian itu, maka hukumnya mubah atau boleh bagi penerima, namun haram bagi pihak pemberi. Praktek tersebut jelas akan merusak kesucian bulan Ramadhan dan menganggu kekhusyu’an pelaksanaan ibadah puasa umat muslim.
Padahal bulan Ramadan, keampunan dan rahmat Allah SWT sangat terbuka lebar bagi umat muslim yang melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, pada bulan yang suci ini jangan sampai dikotori oleh perbuatan dan tradisi-tradisi yang merusak nilai agama. Bersedekah haruslah ikhlas semata-mata hanya untuk Allah SWT, tanpa dikait-kaitkan dengan kepentingan apapun. Meskipun tidak ada yang bisa menjaminnya bahwa ‘sedekah’ tersebut tidak akan mendapatkan pahala, karena urusan pahala dari setiap kebajikan, sekecil apapun itu adalah urusan hamba dengan Tuhan-nya, karena hanya Allah yang Maha Tahu apa yang ada di hati setiap hamba-Nya.
Ramadhan kali ini, harus dijadikan momentum oleh umat muslim Lampung untuk lebih cerdas dalam berpikir dan bertindak dalam menghadapi tahun politik. Tidaklah layak memilih calon pemimpin yang berambisi untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaannya dengan menempuh segala cara, terlebih dengan mengotori bulan yang suci. Ramadan ini harus dimaknai sebagai sebagai bulan pembersih diri sekaligus masa pencarian pemimpin yang bersih dan ikhlas untuk mengabdi. Adakah yang demikian?. Wallahu a’lam Bishawab! (*).
Didominasi Tokoh Politik
By : Unknown
ADA yang menarik dari turunnya Surat Keputusan (SK) Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Lampung dari PB PMII.
Ya, organisasi mahasiswa ekstrakampus yang terlahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) tersebut ternyata didominasi oleh tokoh politik, pada struktur Majelis Pembina Daerah (Mabinda) nya.
Tampak pada SK bernomor 292.PB-XVIII.01-292.A-1.05.2013 tertanggal 14 Mei 2013 tersebut, pada susunan struktur Majelis Pembina Daerah (Mabinda) 75 persen nama yang tercantum adalah pengurus dan tokoh parpol.
Nama tokoh parpol tersebut diantaranya, Sekretaris Mabinda yang dijabat Fajrun Najah Ahmad (Demokrat), Musa Zainudin (PKB), Munzir AS (PPP), Lazwardi Alwi (PKB/Akademisi), Jauharoh Haddad (Golkar), Bustami Zainudin (PDIP), Mustafa (Golkar), Alhuda Muhajirin (Hanura), Edi Sudrajat (Gerindra) dan Dadin Ahmadin (PDIP).
Selain itu, Akademisi Mukhtar Luthfie dimandati untuk memimpin Mabinda PMII Lampung, temani dengan akademisi lainnya seperti Prof Dr M Mukri, KH Khoirudin Tahmid, Rudi SH dan ada juga pejabat TNI yang juga alumni PMII Thamrin Ferly, Advokat Dedy Mawardi, Birokrat Rustam Effendi Damara dan Syahrudin Putra.
Ketua Umum PKC PMII Lampung, Arif Rahman Hakim mengatakan, penyusunan kepengurusan PKC PMII yang Mabinda-nya didominasi para tokoh politik bukanlah factor kesengajaan.
Akan tetapi, kata dia, memang saat ini para alumni mayoritas berkarir didunia politik dan cukup mewarnai konstelasi perpolitikan di Lampung. ”Tapi itu tidak begitu penting. Yang terpenting adalah PMII berkomitmen untuk mengawal pembangunan bangsa dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengawal proses demokrasi. Dalam waktu dekat, kami akan menggelar kegiatan internal seperti pelantikan dan pelatihan,” kata pemuda Lamsel itu. (ari)
Ya, organisasi mahasiswa ekstrakampus yang terlahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) tersebut ternyata didominasi oleh tokoh politik, pada struktur Majelis Pembina Daerah (Mabinda) nya.
Tampak pada SK bernomor 292.PB-XVIII.01-292.A-1.05.2013 tertanggal 14 Mei 2013 tersebut, pada susunan struktur Majelis Pembina Daerah (Mabinda) 75 persen nama yang tercantum adalah pengurus dan tokoh parpol.
Nama tokoh parpol tersebut diantaranya, Sekretaris Mabinda yang dijabat Fajrun Najah Ahmad (Demokrat), Musa Zainudin (PKB), Munzir AS (PPP), Lazwardi Alwi (PKB/Akademisi), Jauharoh Haddad (Golkar), Bustami Zainudin (PDIP), Mustafa (Golkar), Alhuda Muhajirin (Hanura), Edi Sudrajat (Gerindra) dan Dadin Ahmadin (PDIP).
Selain itu, Akademisi Mukhtar Luthfie dimandati untuk memimpin Mabinda PMII Lampung, temani dengan akademisi lainnya seperti Prof Dr M Mukri, KH Khoirudin Tahmid, Rudi SH dan ada juga pejabat TNI yang juga alumni PMII Thamrin Ferly, Advokat Dedy Mawardi, Birokrat Rustam Effendi Damara dan Syahrudin Putra.
Ketua Umum PKC PMII Lampung, Arif Rahman Hakim mengatakan, penyusunan kepengurusan PKC PMII yang Mabinda-nya didominasi para tokoh politik bukanlah factor kesengajaan.
Akan tetapi, kata dia, memang saat ini para alumni mayoritas berkarir didunia politik dan cukup mewarnai konstelasi perpolitikan di Lampung. ”Tapi itu tidak begitu penting. Yang terpenting adalah PMII berkomitmen untuk mengawal pembangunan bangsa dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengawal proses demokrasi. Dalam waktu dekat, kami akan menggelar kegiatan internal seperti pelantikan dan pelatihan,” kata pemuda Lamsel itu. (ari)
Sumber : Koran Editor, Selasa, 21 Mei 2013
Tag :
Politik,
High Cost Demokrasi *)
By : Unknown
Oleh:
Aris Ali Ridho
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Indonesia tidak pernah menunjukan kondisi sepi dari proses politik yang bernama Pemilu. Bahkan Indonesia di daulat menjadi negara di dunia yang paling banyak menyelenggaraakan pemilu. Satu tahun kedepan bangsa Indonesia akan kembali menjumpai pemilu nasional, yaitu Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres). Bahkan pada tahun 2013 ini, KPU memperkirakan di tingkat lokal juga akan berlangsung sebanyak 152 Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada), terdiri 14 Pemilihan Gubernur (Pilgub) dan 138 Pemilihan Bupati/Walikota.
Biaya Penyelenggaraan
Setelah hampir memasuki 15 tahun reformasi, isu penolakan pemilu dan sinisme demokrasi kembali menguat. Salah satu muaranya adalah munculnya inefesiensi dalam pelaksanaan pemilu termasuk pemilukada. Pada Pilgub Lampung tahun 2008 misalnya, anggaran yang dikeluarkan oleh KPU mencapai Rp 95,8 miliar. Bahkan pada Pilgub Jatim tahun 2008, menghabiskan hampir 1 triliun, serta Pemilu 2009 yang menghabiskan dana sekitar Rp 7 triliun. Hal tersebut juga yang memunculkan wacana agar pelaksanaan demokrasi ditingkat lokal, terutama pemilihan gubernur, tidak dilaksanakan secara langsung, melainkan cukup melalui DPRD.
Fenomena besarnya biaya biaya penyelenggaraan dalam pemilu ini memperlihatkan bahwa demokrasi di Indonesia masih bersifat prosedural dan materialistis, belum mampu menyentuh pada sisi substansial. Jumlah yang sangat besar tersebut menjadi ironi di tengah terpuruknya kondisi perekonomian bangsa saat ini. Hal ini yang kemudian memunculkan asumsi bahwa pelaksanaan pemilu dan pilkada dalam bingkai demokrasi adalah pemborosan, tidak lebih dari sekedar menghambur-hamburkan uang rakyat.
Biaya Politik
Selain persoalan biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada yang besar dan membebani APBN/APBD, besarnya cost politic juga menjadi masalah yang serius dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Mahalnya cost politic tersebut bisa dipahami karena semakin melembaganya politik uang dalam setiap ivent politik di Indonesia. Politik uang dalam ivent politik tidak hanya terjadi di tataran masyarakat bawah untuk membeli suara, tetapi juga terjadi di tingkatan elite partai politik, dalam bentuk jual-beli perahu partai politik. Bahkan nilai transaksi ini diyakini menjadi salah satu item membengkaknya cost politic yang dikeluarkan oleh para calon.
Kondisi ini seoalah telah menjadi syarat penting dalam institusi demokrasi, karena paradigma peserta pemilu masih menganggap bahwa uang merupakan satu strategi pemenangan yang paling instant. Ini menunjukan bahwa kekuatan finansial secara kasat mata senantiasa menjadi subjek yang memainkan peranan penting dan dominan dalam setiap ivent politik dibanding dengan modal politik dan modal sosial. Pada gilirannya, cost politic yang besar tersebut, berimplikasi dan menjadi salah saru faktor banyaknya politisi di lingkungan ekskutif dan legislatif melakukan praktek korupsi.
Menimbang Pemilu Serentak
Persoalan diatas tersebut merupakan persoalan yang paling krusial dan banyak menyita perhatian publik dibanding beberapa persoalan lain, karena juga terjadi di semua level pemilu, sehingga harus dicarikan solusi atau alternatif jalan keluarnya secara bersama-sama. Apabila persoalan tersebut tidak dapat diminimalisir, maka upaya konsolidasi demokrasi akan semakin sulit diwujudkan. Tanpa fairness, kompetisi yang terbangun akan lebih bersifat prosedural dan akan tetap lemah dalam hal substansi. Pemilu, partai politik, dan berbagai instrumen politik lainnya dalam sistem demokrasi hanya akan menjadi bagian dari sebuah rutinitas pergantian kekuasaan. Kecurangan-kecurangan yang terjadi akan menimbulkan sinisme publik terhadap proses politik, yang akan menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi.
Setidaknya aspek waktu pelaksanaan pemilu juga berpengaruh terhadap pembiayaan pemilu/pemilukada. Persoalan manajemen mendesak dilakukan untuk menghindari pemborosan anggaran yang dikeluarkan oleh negara/daerah maupun para kompetitor, karena salah satu faktor terjadinya pemborosan anggaran adalah akibat dari banyaknya biaya yang dikeluarkan setiap kegiatan dan tahapan pada pemilu/pemilukada.
Selama ini, biaya yang paling banyak dikeluarkan dalam penyelenggaraan pemilu/pemilukada adalah gaji untuk honor petugas penyelenggara. Honor petugas menyerap 65 persen dari total biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada. Artinya semakin banyak pemilu/pemilukada yang diselenggarakan semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk honor petugas pemilu/pemilukada. Jika pemilu/pemilukada disatukan penyelenggaraannya menjadi dua atau tiga kali pemilu/pemilukada maka akan menghemat biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada.
Melalui pelaksanaan pemilu/pemulukada secara serentak rakyat tidak perlu membuang waktu harus berkali-kali datang ke TPS dalam lima tahun. Pilkada serentak lebih efektif untuk mengeliminasi keletihan psiko-politik rakyat yang melakukan pemilihan sebanyak tujuh kali dalam rentang waktu lima tahun apabila setiap pilkada dan pemilu presiden berlangsung dua putaran. Kondisi yang demikian tentu sangat menyita energi pemerintah dan rakyat itu sendiri yang pada gilirannya juga menyebabkan tumbuhnya gejala pragmatisme karena merasa semakin jenuh, apatis terhadap politik di tengah masyarakat sehingga partisipasi dalam setiap pelaksanaan pemilu/pemilukada pun semakin menurun. Pemilu/pemilukada serentak juga dapat mencegah hadirnya banyak tim sukses yang akhirnya menjadi beban tersendiri bagi kepala daerah. Pemilu memang merupakan instrument politik yang menjadi sebuah keharusan dalam demokrasi, namun high cost dalam demokrasi bukanlah cita-cita demokrasi, karena demokrasi adalah alat bukan tujuan. (*).
*). Artikel ini pernah dimuat di Lampung Post pada kolom Opini, Selasa, 29 Januari 2013.
Biaya Penyelenggaraan
Setelah hampir memasuki 15 tahun reformasi, isu penolakan pemilu dan sinisme demokrasi kembali menguat. Salah satu muaranya adalah munculnya inefesiensi dalam pelaksanaan pemilu termasuk pemilukada. Pada Pilgub Lampung tahun 2008 misalnya, anggaran yang dikeluarkan oleh KPU mencapai Rp 95,8 miliar. Bahkan pada Pilgub Jatim tahun 2008, menghabiskan hampir 1 triliun, serta Pemilu 2009 yang menghabiskan dana sekitar Rp 7 triliun. Hal tersebut juga yang memunculkan wacana agar pelaksanaan demokrasi ditingkat lokal, terutama pemilihan gubernur, tidak dilaksanakan secara langsung, melainkan cukup melalui DPRD.
Fenomena besarnya biaya biaya penyelenggaraan dalam pemilu ini memperlihatkan bahwa demokrasi di Indonesia masih bersifat prosedural dan materialistis, belum mampu menyentuh pada sisi substansial. Jumlah yang sangat besar tersebut menjadi ironi di tengah terpuruknya kondisi perekonomian bangsa saat ini. Hal ini yang kemudian memunculkan asumsi bahwa pelaksanaan pemilu dan pilkada dalam bingkai demokrasi adalah pemborosan, tidak lebih dari sekedar menghambur-hamburkan uang rakyat.
Biaya Politik
Selain persoalan biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada yang besar dan membebani APBN/APBD, besarnya cost politic juga menjadi masalah yang serius dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Mahalnya cost politic tersebut bisa dipahami karena semakin melembaganya politik uang dalam setiap ivent politik di Indonesia. Politik uang dalam ivent politik tidak hanya terjadi di tataran masyarakat bawah untuk membeli suara, tetapi juga terjadi di tingkatan elite partai politik, dalam bentuk jual-beli perahu partai politik. Bahkan nilai transaksi ini diyakini menjadi salah satu item membengkaknya cost politic yang dikeluarkan oleh para calon.
Kondisi ini seoalah telah menjadi syarat penting dalam institusi demokrasi, karena paradigma peserta pemilu masih menganggap bahwa uang merupakan satu strategi pemenangan yang paling instant. Ini menunjukan bahwa kekuatan finansial secara kasat mata senantiasa menjadi subjek yang memainkan peranan penting dan dominan dalam setiap ivent politik dibanding dengan modal politik dan modal sosial. Pada gilirannya, cost politic yang besar tersebut, berimplikasi dan menjadi salah saru faktor banyaknya politisi di lingkungan ekskutif dan legislatif melakukan praktek korupsi.
Menimbang Pemilu Serentak
Persoalan diatas tersebut merupakan persoalan yang paling krusial dan banyak menyita perhatian publik dibanding beberapa persoalan lain, karena juga terjadi di semua level pemilu, sehingga harus dicarikan solusi atau alternatif jalan keluarnya secara bersama-sama. Apabila persoalan tersebut tidak dapat diminimalisir, maka upaya konsolidasi demokrasi akan semakin sulit diwujudkan. Tanpa fairness, kompetisi yang terbangun akan lebih bersifat prosedural dan akan tetap lemah dalam hal substansi. Pemilu, partai politik, dan berbagai instrumen politik lainnya dalam sistem demokrasi hanya akan menjadi bagian dari sebuah rutinitas pergantian kekuasaan. Kecurangan-kecurangan yang terjadi akan menimbulkan sinisme publik terhadap proses politik, yang akan menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi.
Setidaknya aspek waktu pelaksanaan pemilu juga berpengaruh terhadap pembiayaan pemilu/pemilukada. Persoalan manajemen mendesak dilakukan untuk menghindari pemborosan anggaran yang dikeluarkan oleh negara/daerah maupun para kompetitor, karena salah satu faktor terjadinya pemborosan anggaran adalah akibat dari banyaknya biaya yang dikeluarkan setiap kegiatan dan tahapan pada pemilu/pemilukada.
Selama ini, biaya yang paling banyak dikeluarkan dalam penyelenggaraan pemilu/pemilukada adalah gaji untuk honor petugas penyelenggara. Honor petugas menyerap 65 persen dari total biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada. Artinya semakin banyak pemilu/pemilukada yang diselenggarakan semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk honor petugas pemilu/pemilukada. Jika pemilu/pemilukada disatukan penyelenggaraannya menjadi dua atau tiga kali pemilu/pemilukada maka akan menghemat biaya penyelenggaraan pemilu/pemilukada.
Melalui pelaksanaan pemilu/pemulukada secara serentak rakyat tidak perlu membuang waktu harus berkali-kali datang ke TPS dalam lima tahun. Pilkada serentak lebih efektif untuk mengeliminasi keletihan psiko-politik rakyat yang melakukan pemilihan sebanyak tujuh kali dalam rentang waktu lima tahun apabila setiap pilkada dan pemilu presiden berlangsung dua putaran. Kondisi yang demikian tentu sangat menyita energi pemerintah dan rakyat itu sendiri yang pada gilirannya juga menyebabkan tumbuhnya gejala pragmatisme karena merasa semakin jenuh, apatis terhadap politik di tengah masyarakat sehingga partisipasi dalam setiap pelaksanaan pemilu/pemilukada pun semakin menurun. Pemilu/pemilukada serentak juga dapat mencegah hadirnya banyak tim sukses yang akhirnya menjadi beban tersendiri bagi kepala daerah. Pemilu memang merupakan instrument politik yang menjadi sebuah keharusan dalam demokrasi, namun high cost dalam demokrasi bukanlah cita-cita demokrasi, karena demokrasi adalah alat bukan tujuan. (*).
*). Artikel ini pernah dimuat di Lampung Post pada kolom Opini, Selasa, 29 Januari 2013.
Kejutan Menarik dari Pilkada DKI
By : Unknown
Oleh :
Aris Ali Ridho
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fisip Unila
Pada 20 September yang lalu, warga DKI Jakarta telah menyelenggarakan suksesi lima tahunan, yaitu pilkada gubernur putaran kedua dengan lancar dan aman. Barangkali, selama pelaksanaan pilkada langsung diterapkan, pilkada DKI tahun 2012 ini menjadi pilkada yang paling menarik yang pernah ada di Indonesia sejauh ini. Jakarta menjadi sesuatu yang sangat menarik, apabila mempertimbangkan Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus pusat ekonomi dan bisnis nasional, dengan karakteristik masyarakatnya yang cukup hiterogen. Yang tidak kalah penting lainnya adalah Jakarta juga memiliki segudang persoalannya yang cukup kompleks, dari kemacetan, banjir, kemiskinan, kumuh, dan kriminalitas adalah pemandangan Jakarta sehari-hari. Beberapa hal tersebut mungkin tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Dalam kondisi demikian ini, Jakarta memang membutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar mampu untuk membawa perubahan Jakarta dan keluar dari kompleksitas permasalahan yang membelitnya.
Berdasarkan hasil penghitungan cepat (quick count) dari beberapa lembaga survei memang memberikan kejutan, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) berhasil mengalahkan calon petahana Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli (Foke– Nara). Hampir dipastikan penyelenggaraan pilkada tersebut tanpa menimbulkan ricuh atau konflik dan gugatan sengketa pilkada ke MK.
Konstelasi politik dalam pilkada DKI semakin menarik ketika memasuki babak kedua, dimana ada beberapa catatan mengenai peristiwa yang terjadi pada fase tersebut. Yang pertama, pasca pilkada putaran pertama yang menetapkan pasangan Jokowi-Ahok unggul dalam perolehan suara dan melaju pada putaran kedua bersama pasangan Foke-Nara yang berada diurutan kedua. Beberapa partai politik yang pada putaran pertama kompak menyerang calon petahana justru berbalik arah dan berjamaah mendukung pasangan Foke-Nara.
Hampir seluruh partai politik dari partai besar pemenang pemilu sampai partai gurem turut memberikan dukungannya kepada Foke-Nara, kecuali PDIP dan Gerindra yang dari awal konsisten mengusung Jokowi-Ahok. Namun besarnya dukungan partai politik kepada Foke-Nara ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah perolehannya pada putaran kedua. Catatan kedua adalah maraknya black campaign berupa isu-isu menyangkut SARA yang terjadi pada rentang waktu itu. Isu SARA diawali dari ceramah raja dangdut Rhoma Irama, disalah satu masjid yang mewajibkan memilih pemimpin yang seiman. Isu yang dimainkan untuk mempengaruhi pilihan warga DKI tersebut juga terbukti tidak efektif, dari hasil survei LSI menyimpulkan bahwa meskipun muslim DKI proporsinya 85% dari total penduduk serta saleh secara personal dan sosial tetapi cenderung sekuler dalam urusan politik.
Warga DKI sepertinya ingin membuktikan, bahwa Jakarta memang layak untuk dijadikan barometer Indonesia dalam segala hal, termasuk politik. Warga DKI adalah masyarakat yang cerdas dalam memilih pemimpinnya, tidak lagi berpatokan kepada langkah dan dukungan partai politik. Hal ini dibuktikan dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) beberapa hari sebelum pemilihan yang menunjukan bahwa faktor dukungan partai tidak banyak berpengaruh, karena pemilih cenderung melihat pada figur atau profil kandidat.
Kemenangan Jokowi-Ahok jelas benar-benar merupakan sebuah kejutan menarik bukan hanya untuk warga DKI, tetapi juga untuk rakyat Indonesia. Dua putra daerah asal Solo dan Belitung Timur tersebut, berhasil mengungguli lawan tangguhnya yang merupakan putra asli DKI Foke-Nara yang notabene adalah orang betawi yang lahir dan besar di Jakarta. Foke dinilai cukup menonjol dalam pengalaman memerintah di DKI dan sudah lebih dikenal oleh masyarakat setelah lima tahun memimpin. Namun nampaknya warga DKI menunjukkan bahwa Jakarta sedang merindukan sosok transformatif dan punya semangat komunitarianisme.
Pasangan Jokowi-Ahok tersebut dinilai memiliki integritas moral yang baik serta memiliki keberanian dan ketegasan dalam melaksanakan gagasannya. Selain itu, Jokowi yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Ahok yang mantan Bupati Belitung Timur ini juga dipandang lebih aspiratif daripada pasangan petahan
Jokowi unggul dalam citra bisa dipercaya/bersih dari korupsi, menyenangkan, ramah, hangat, dan perhatian. Selain itu, faktor dukungan media juga turut berperan besar dalam proses pembentukan citra baik terhadap Jokowi. Berbeda lagi dengan Foke, yang lebih mendapatkan citra miring atas evaluasi kinerjanya sebagai petahana yang banyak dipersepsikan gagal. Stigma kegagalan tersebut memalingkan pilihan warga kepada wajah penantang yang dianggap mampu memberi harapan baru. Selain itu buruknya citra Foke juga diperparah oleh sikap elite-elite partai politik yang ramai-ramai mendukung pasangan ini sehingga justru menimbulkan gelombang kritik dan kecaman publik.
Kepemimpinan Lampung
Lampung memang bukan DKI, akan tetapi Lampung juga merindukan figur transformatif, bersih, sederhana, dan dekat dengan rakyatnya, seperti halnya Jokowi di DKI. Kepemimpinan Lampung kedepan, juga perlu dicari sosok alternatif baru yang mampu membawa perubahan Lampung kearah yang lebih baik lagi. Dalam konteks ini, media menjadi andalan yang paling memungkinkan untuk memunculkan figur tersebut. Media harus turut andil dalam menawarkan sosok alternatif untuk kepemimpinan Lampung kedepan dengan independent dan professional tanpa ditunggangi oleh politisi untuk melakukan pencitraannya. Keberpihakan media mesti jelas, agar tujuan media untuk memberikan percedasan sekaligus pendidikan politik yang benar dapat terwujud, bukan malah melakukan pembodohan dengan ‘obral pencitraan’ dari ‘pemesan’.
Pilkada DKI pada 20 September yang lalu, setidaknya menunjukan perkembangan yang positif dalam proses demokrasi di Indonesia ditengah kondisi masyarakat yang semakin jenuh, apatis dengan politik, dan tidak percaya pada sistem demokrasi. Tentunya hal ini bisa menjadi sumber inspirasi baru dalam dinamika politik dan hakikat kepemimpinan publik. Semoga kejutan menarik juga akan datang dalam pilkada Lampung kedepan. Amin. (*).
Berdasarkan hasil penghitungan cepat (quick count) dari beberapa lembaga survei memang memberikan kejutan, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) berhasil mengalahkan calon petahana Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli (Foke– Nara). Hampir dipastikan penyelenggaraan pilkada tersebut tanpa menimbulkan ricuh atau konflik dan gugatan sengketa pilkada ke MK.
Konstelasi politik dalam pilkada DKI semakin menarik ketika memasuki babak kedua, dimana ada beberapa catatan mengenai peristiwa yang terjadi pada fase tersebut. Yang pertama, pasca pilkada putaran pertama yang menetapkan pasangan Jokowi-Ahok unggul dalam perolehan suara dan melaju pada putaran kedua bersama pasangan Foke-Nara yang berada diurutan kedua. Beberapa partai politik yang pada putaran pertama kompak menyerang calon petahana justru berbalik arah dan berjamaah mendukung pasangan Foke-Nara.
Hampir seluruh partai politik dari partai besar pemenang pemilu sampai partai gurem turut memberikan dukungannya kepada Foke-Nara, kecuali PDIP dan Gerindra yang dari awal konsisten mengusung Jokowi-Ahok. Namun besarnya dukungan partai politik kepada Foke-Nara ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah perolehannya pada putaran kedua. Catatan kedua adalah maraknya black campaign berupa isu-isu menyangkut SARA yang terjadi pada rentang waktu itu. Isu SARA diawali dari ceramah raja dangdut Rhoma Irama, disalah satu masjid yang mewajibkan memilih pemimpin yang seiman. Isu yang dimainkan untuk mempengaruhi pilihan warga DKI tersebut juga terbukti tidak efektif, dari hasil survei LSI menyimpulkan bahwa meskipun muslim DKI proporsinya 85% dari total penduduk serta saleh secara personal dan sosial tetapi cenderung sekuler dalam urusan politik.
Warga DKI sepertinya ingin membuktikan, bahwa Jakarta memang layak untuk dijadikan barometer Indonesia dalam segala hal, termasuk politik. Warga DKI adalah masyarakat yang cerdas dalam memilih pemimpinnya, tidak lagi berpatokan kepada langkah dan dukungan partai politik. Hal ini dibuktikan dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) beberapa hari sebelum pemilihan yang menunjukan bahwa faktor dukungan partai tidak banyak berpengaruh, karena pemilih cenderung melihat pada figur atau profil kandidat.
Kemenangan Jokowi-Ahok jelas benar-benar merupakan sebuah kejutan menarik bukan hanya untuk warga DKI, tetapi juga untuk rakyat Indonesia. Dua putra daerah asal Solo dan Belitung Timur tersebut, berhasil mengungguli lawan tangguhnya yang merupakan putra asli DKI Foke-Nara yang notabene adalah orang betawi yang lahir dan besar di Jakarta. Foke dinilai cukup menonjol dalam pengalaman memerintah di DKI dan sudah lebih dikenal oleh masyarakat setelah lima tahun memimpin. Namun nampaknya warga DKI menunjukkan bahwa Jakarta sedang merindukan sosok transformatif dan punya semangat komunitarianisme.
Pasangan Jokowi-Ahok tersebut dinilai memiliki integritas moral yang baik serta memiliki keberanian dan ketegasan dalam melaksanakan gagasannya. Selain itu, Jokowi yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Solo dan Ahok yang mantan Bupati Belitung Timur ini juga dipandang lebih aspiratif daripada pasangan petahan
Jokowi unggul dalam citra bisa dipercaya/bersih dari korupsi, menyenangkan, ramah, hangat, dan perhatian. Selain itu, faktor dukungan media juga turut berperan besar dalam proses pembentukan citra baik terhadap Jokowi. Berbeda lagi dengan Foke, yang lebih mendapatkan citra miring atas evaluasi kinerjanya sebagai petahana yang banyak dipersepsikan gagal. Stigma kegagalan tersebut memalingkan pilihan warga kepada wajah penantang yang dianggap mampu memberi harapan baru. Selain itu buruknya citra Foke juga diperparah oleh sikap elite-elite partai politik yang ramai-ramai mendukung pasangan ini sehingga justru menimbulkan gelombang kritik dan kecaman publik.
Kepemimpinan Lampung
Lampung memang bukan DKI, akan tetapi Lampung juga merindukan figur transformatif, bersih, sederhana, dan dekat dengan rakyatnya, seperti halnya Jokowi di DKI. Kepemimpinan Lampung kedepan, juga perlu dicari sosok alternatif baru yang mampu membawa perubahan Lampung kearah yang lebih baik lagi. Dalam konteks ini, media menjadi andalan yang paling memungkinkan untuk memunculkan figur tersebut. Media harus turut andil dalam menawarkan sosok alternatif untuk kepemimpinan Lampung kedepan dengan independent dan professional tanpa ditunggangi oleh politisi untuk melakukan pencitraannya. Keberpihakan media mesti jelas, agar tujuan media untuk memberikan percedasan sekaligus pendidikan politik yang benar dapat terwujud, bukan malah melakukan pembodohan dengan ‘obral pencitraan’ dari ‘pemesan’.
Pilkada DKI pada 20 September yang lalu, setidaknya menunjukan perkembangan yang positif dalam proses demokrasi di Indonesia ditengah kondisi masyarakat yang semakin jenuh, apatis dengan politik, dan tidak percaya pada sistem demokrasi. Tentunya hal ini bisa menjadi sumber inspirasi baru dalam dinamika politik dan hakikat kepemimpinan publik. Semoga kejutan menarik juga akan datang dalam pilkada Lampung kedepan. Amin. (*).
Tren Kerusuhan Massa *)
By : Unknown
Oleh:
Aris Ali Ridho
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Frekuensi aksi kekerasan massa di Lampung belakangan makin sering. Persoalan sepele kerap memicu amarah dan berujung pada tindakan anarkitis. Terakhir massa menghabisi nyawa seorang pemuda di Natar dan dibalas dengan pembakaran dua rumah warga yang dianggap sebagai pelaku. Sebelumnya massa membakar Polsek Padangcermin, Pesawaran. Pemicunya hanya pertikaian pemuda, tetapi akhirnya membesar dan menjurus pada masalah suku dan golongan.
Kerusuhan massa juga meletus di perbatasan Mesuji dengan Sumatera Selatan dan merenggut korban jiwa. Belum lama berselang juga mencuat kasus kerusuhan di Sidomulyo, Lampung Selatan. Konflik tersebut juga bernuansa masalah suku dan golongan. Setelah di Sidomulyo, konflik juga meletus di Kalianda. Belum lagi beberapa aksi kekerasan lainnya dalam kurun waktu terakhir, baik yang terjadi di lokal Lampung maupun di beberapa daerah Indonesia lainnya.
Kecenderungan maraknya kembali aksi kekerasan di Lampung harus menjadi bahan renungan bersama. Terlebih peristiwa tersebut terjadi dalam suasana Ramadhan dan menjelang peringatan hari kemerdekaan bangsa Indonesia.
Tujuh belas tahun sebelum negara ini merdeka rakyat kita sudah menyatakan diri sebagai bangsa yang satu, bangsa Indonesia, yaitu melalui peristiwa Sumpah Pemuda. Peristiwa itu yang kemudian menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya pada 17 tahun kemudian.
Dalam tinjauan historis, hal ini berati bangsa Indonesia lahir jauh sebelum negara ini diproklamirkan. Keragaman, suku, tradisi, adat istiadat, budaya, ras, agama, aliran, dan golongan yang bermacam-macam, serta wilayah geografis yang terdiri dari ribuan pulau, ternyata tidak menjadi penghambat bagi para funding fathers kita untuk mewujudkan sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan pondasi dan semangat kebersamaan, ditengah keragaman tersebut funding fathers berusaha sekuat tenaga merumuskan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai semua bentuk perbedaan.
Ketika Sumpah Pemuda diucapkan, tidak ada perilaku mentang-mentang satu pihak terhadap pihak lainnya. Tidak ada tirani mayoritas terhadap minoritas. Satu hal yang paling istimewa adalah kesepakatan tentang bahasa persatuan. Meskipun jumlah penutur daerah di Jawa dan sekitarnya lebih besar dibandingkan dengan yang lain, semua pihak sepakat bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan diambil dari bahasa Melayu. Demikian juga sentiment asal-usul suku bangsa dan kedaerahan. Perkumpulan pemuda dari seluruh kepulauan Indonesia, sepakat mengakui berbangsa satu, bangsa Indonesia. Ini merupakan bukti keberhasilan funding fathers dalam menyatukan masyarakat yang plural menjadi satu kekuatan dan identitas baru sebagai bangsa Indonesia. Konsep inilah yang membedakan terbentuknya negara Indonesia dengan negara lain.
Fenomena Kekerasan
Rentetan peristiwa kekerasan bergerak dari satu kejadian ke kejadian lain secara cepat, sampai-sampai melumpuhkan ingatan kita atas peristiwa yang baru saja terjadi. Bahasa kekerasan dan aksi massa seakan menjadi hal yang biasa. Terlebih pelaku kekerasan seakan mendapatkan legitimasi sosial manakala aksi kekerasan yang mereka pertontonkan diliput media massa dan ditayangkan terus secara berkelanjutan. Sosok bangsa yang dulu terkenal dengan peramah, gotong royong, toleran, yang dalam hidupnya didasarkan pada kepentingan bersama sebagai anak negeri, kini harus diakui mulai terkoyak.
Bangunan ke-Indonesiaan yang nampak ideal dan indah tersebut mulai rapuh ditelan waktu. Keragaman yang katanya sebagai identitas dan kekuatan nasional, saat ini justru seringkali menjadi pemicu timbulnya konflik vertikal maupun horizontal yang akhir-akhir ini marak terjadi. Seolah-olah semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang terdapat di kaki kuat sang Burung Garuda mulai melemah, menggantung dan nyaris terjatuh. Identitas “Kita” sebagai bangsa Indonesia mulai tergadaikan, dan lebih memperlihatkan pada posisi sebagai “Aku - Kamu” dan ”Kami - Mereka”.
Barangkali memang ada benarnya, seperti apa yang dikatakan oleh Max Lane (2007), yang menyatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang belum selesai. Sehingga politik identitas dalam format identitas suku (ethnic identity), identitas daerah (regional identity) dan identitas agama (religious identity) di Indonesia sangat mudah menguat.
Identitas Kebangsaan
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk dan memiliki unsur pembentuk identitas bangsa yang kompleks dan teranyam dalam perjalanan sejarah panjang Indonesia. Suku bangsa yang secara natural terdapat ratusan suku, beragam bahasa, agama, budaya, dan keyakinan yang mendiami pulau Nusantara, juga merupakan unsur pembentuk identitas bangsa Indonesia.
Soekarno menyebutkan, bahwa bangsa Indonesia bukanlah sekedar le desir d'etre ensemble - kehendak untuk bersatu dan yang merasa dirinya bersatu - oleh bangsa tertentu di Indonesia, akan tetapi seluruh bangsa yang tinggal dalam wilayah geopolitik Indonesia merasakan le desir d'etre ensemble Indonesia.
Identitas bangsa memiliki dimensi tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai oleh sebuah bangsa, identitas yang bersumber dari cita-cita ini bersifat dinamis dan paling banyak didiskusikan ulang. Identitas bangsa Indonesia yang bersumber dari dimensi cita-cita ini sangat terkait dengan apa yang diungkapkan Ernes Renan sebagai le desir d'etre ensemble, yakni adanya kehendak untuk bersatu dan merasa bersatu, untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.
Konsep bangsa Indonesia yang kaya dengan keragaman dan memposisikan sebagai bangsa yang plural, dan dengan kenekaragaman tersebutlah yang menjadikan sebuah identitas nasional bangsa Indonesia sekaligus menjadi identitas kebangsaan. Kebanggaan kita akan sebuah identitas nasional itulah yang dapat mewujudkan integrasi nasional.
Maraknya konflik dan aksi-aksi kekerasan di negeri ini yang telah menjadi tontonan rutin dan pemberitaan utama di berbagai media massa akhir-akhir ini nampak mulai dipertanyakan. Baik oleh kita sendiri sendiri sebagai bangsa Indonesia, maupun ”mereka” bangsa lain. Entah lari kemana kebanggaan atas identitas (nasionalisme) kita yang dahulu diperjuangkan dan terus dipertahankan yang kemudian sangat dikagumi oleh bangsa lain?. Serta masihkah identitas tersebut melekat dan menjadi jati diri atau kepribadian bangsa Indonesia saat ini?.
Melihat kondisi bangsa demikian, nampaknya perlu ada sebuah upaya alternatif dalam menyatukan keragaman di Indonesia dengan mengadakan akomodasi serta revitalisasi ideologi Pancasila sebagai pemberdayaan identitas nasional. Hal ini merupakan solusi yang tepat untuk menyatukan bangsa yang besar ini serta didasari keyakinan kuat bahwa Pancasila masihlah merupakan simpul nasional yang paling tepat bagi Indonesia yang majemuk.
Seperti apa yang pernah diungkapkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa “Sebuah bangsa yang mampu bertenggang rasa terhadap perbedaaan-perbedaaan budaya, agama, dan ideologi adalah bangsa yang besar” untuk mewujudkan integrasi di Indonesia dengan mutual of understanding. Kita semua berharap seluruh elemen bangsa menyadari bersama bahwa persatuan adalah modal terpenting menuju kesejahteraan masyarakat. Tidak ada pembangunan yang berhasil tanpa persatuan. Tidak ada kesejahteraan masyarakat tanpa persatuan.
*). Artikel ini pernah dimuat di Lampung Post pada kolom Opini, Rabu 15 Agustus 2012.
Kerusuhan massa juga meletus di perbatasan Mesuji dengan Sumatera Selatan dan merenggut korban jiwa. Belum lama berselang juga mencuat kasus kerusuhan di Sidomulyo, Lampung Selatan. Konflik tersebut juga bernuansa masalah suku dan golongan. Setelah di Sidomulyo, konflik juga meletus di Kalianda. Belum lagi beberapa aksi kekerasan lainnya dalam kurun waktu terakhir, baik yang terjadi di lokal Lampung maupun di beberapa daerah Indonesia lainnya.
Kecenderungan maraknya kembali aksi kekerasan di Lampung harus menjadi bahan renungan bersama. Terlebih peristiwa tersebut terjadi dalam suasana Ramadhan dan menjelang peringatan hari kemerdekaan bangsa Indonesia.
Tujuh belas tahun sebelum negara ini merdeka rakyat kita sudah menyatakan diri sebagai bangsa yang satu, bangsa Indonesia, yaitu melalui peristiwa Sumpah Pemuda. Peristiwa itu yang kemudian menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya pada 17 tahun kemudian.
Dalam tinjauan historis, hal ini berati bangsa Indonesia lahir jauh sebelum negara ini diproklamirkan. Keragaman, suku, tradisi, adat istiadat, budaya, ras, agama, aliran, dan golongan yang bermacam-macam, serta wilayah geografis yang terdiri dari ribuan pulau, ternyata tidak menjadi penghambat bagi para funding fathers kita untuk mewujudkan sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan pondasi dan semangat kebersamaan, ditengah keragaman tersebut funding fathers berusaha sekuat tenaga merumuskan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai semua bentuk perbedaan.
Ketika Sumpah Pemuda diucapkan, tidak ada perilaku mentang-mentang satu pihak terhadap pihak lainnya. Tidak ada tirani mayoritas terhadap minoritas. Satu hal yang paling istimewa adalah kesepakatan tentang bahasa persatuan. Meskipun jumlah penutur daerah di Jawa dan sekitarnya lebih besar dibandingkan dengan yang lain, semua pihak sepakat bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan diambil dari bahasa Melayu. Demikian juga sentiment asal-usul suku bangsa dan kedaerahan. Perkumpulan pemuda dari seluruh kepulauan Indonesia, sepakat mengakui berbangsa satu, bangsa Indonesia. Ini merupakan bukti keberhasilan funding fathers dalam menyatukan masyarakat yang plural menjadi satu kekuatan dan identitas baru sebagai bangsa Indonesia. Konsep inilah yang membedakan terbentuknya negara Indonesia dengan negara lain.
Fenomena Kekerasan
Rentetan peristiwa kekerasan bergerak dari satu kejadian ke kejadian lain secara cepat, sampai-sampai melumpuhkan ingatan kita atas peristiwa yang baru saja terjadi. Bahasa kekerasan dan aksi massa seakan menjadi hal yang biasa. Terlebih pelaku kekerasan seakan mendapatkan legitimasi sosial manakala aksi kekerasan yang mereka pertontonkan diliput media massa dan ditayangkan terus secara berkelanjutan. Sosok bangsa yang dulu terkenal dengan peramah, gotong royong, toleran, yang dalam hidupnya didasarkan pada kepentingan bersama sebagai anak negeri, kini harus diakui mulai terkoyak.
Bangunan ke-Indonesiaan yang nampak ideal dan indah tersebut mulai rapuh ditelan waktu. Keragaman yang katanya sebagai identitas dan kekuatan nasional, saat ini justru seringkali menjadi pemicu timbulnya konflik vertikal maupun horizontal yang akhir-akhir ini marak terjadi. Seolah-olah semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang terdapat di kaki kuat sang Burung Garuda mulai melemah, menggantung dan nyaris terjatuh. Identitas “Kita” sebagai bangsa Indonesia mulai tergadaikan, dan lebih memperlihatkan pada posisi sebagai “Aku - Kamu” dan ”Kami - Mereka”.
Barangkali memang ada benarnya, seperti apa yang dikatakan oleh Max Lane (2007), yang menyatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang belum selesai. Sehingga politik identitas dalam format identitas suku (ethnic identity), identitas daerah (regional identity) dan identitas agama (religious identity) di Indonesia sangat mudah menguat.
Identitas Kebangsaan
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk dan memiliki unsur pembentuk identitas bangsa yang kompleks dan teranyam dalam perjalanan sejarah panjang Indonesia. Suku bangsa yang secara natural terdapat ratusan suku, beragam bahasa, agama, budaya, dan keyakinan yang mendiami pulau Nusantara, juga merupakan unsur pembentuk identitas bangsa Indonesia.
Soekarno menyebutkan, bahwa bangsa Indonesia bukanlah sekedar le desir d'etre ensemble - kehendak untuk bersatu dan yang merasa dirinya bersatu - oleh bangsa tertentu di Indonesia, akan tetapi seluruh bangsa yang tinggal dalam wilayah geopolitik Indonesia merasakan le desir d'etre ensemble Indonesia.
Identitas bangsa memiliki dimensi tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai oleh sebuah bangsa, identitas yang bersumber dari cita-cita ini bersifat dinamis dan paling banyak didiskusikan ulang. Identitas bangsa Indonesia yang bersumber dari dimensi cita-cita ini sangat terkait dengan apa yang diungkapkan Ernes Renan sebagai le desir d'etre ensemble, yakni adanya kehendak untuk bersatu dan merasa bersatu, untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.
Konsep bangsa Indonesia yang kaya dengan keragaman dan memposisikan sebagai bangsa yang plural, dan dengan kenekaragaman tersebutlah yang menjadikan sebuah identitas nasional bangsa Indonesia sekaligus menjadi identitas kebangsaan. Kebanggaan kita akan sebuah identitas nasional itulah yang dapat mewujudkan integrasi nasional.
Maraknya konflik dan aksi-aksi kekerasan di negeri ini yang telah menjadi tontonan rutin dan pemberitaan utama di berbagai media massa akhir-akhir ini nampak mulai dipertanyakan. Baik oleh kita sendiri sendiri sebagai bangsa Indonesia, maupun ”mereka” bangsa lain. Entah lari kemana kebanggaan atas identitas (nasionalisme) kita yang dahulu diperjuangkan dan terus dipertahankan yang kemudian sangat dikagumi oleh bangsa lain?. Serta masihkah identitas tersebut melekat dan menjadi jati diri atau kepribadian bangsa Indonesia saat ini?.
Melihat kondisi bangsa demikian, nampaknya perlu ada sebuah upaya alternatif dalam menyatukan keragaman di Indonesia dengan mengadakan akomodasi serta revitalisasi ideologi Pancasila sebagai pemberdayaan identitas nasional. Hal ini merupakan solusi yang tepat untuk menyatukan bangsa yang besar ini serta didasari keyakinan kuat bahwa Pancasila masihlah merupakan simpul nasional yang paling tepat bagi Indonesia yang majemuk.
Seperti apa yang pernah diungkapkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa “Sebuah bangsa yang mampu bertenggang rasa terhadap perbedaaan-perbedaaan budaya, agama, dan ideologi adalah bangsa yang besar” untuk mewujudkan integrasi di Indonesia dengan mutual of understanding. Kita semua berharap seluruh elemen bangsa menyadari bersama bahwa persatuan adalah modal terpenting menuju kesejahteraan masyarakat. Tidak ada pembangunan yang berhasil tanpa persatuan. Tidak ada kesejahteraan masyarakat tanpa persatuan.
*). Artikel ini pernah dimuat di Lampung Post pada kolom Opini, Rabu 15 Agustus 2012.
Tag :
Artikel,
Sosial Budaya,
Pilkada (bukan) Untuk Rakyat
By : Unknown
Oleh : Aris Ali Ridho
Ketua PMII Komisariat Unila dan
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Perhelatan politik lokal bernama Pilkada, di beberapa daerah tidak pernah
menunjukan kondisi sepi, selalu ada pembicaraan tentang hiruk-pikuknya Pilkada.
Termasuk 3 Kabupaten di Lampung yang mulai bersiap-siap untuk
menyambutnya. Mulai dari aparat pemerintah, calon depala daerah, Parpol, KPU,
LSM/NGO, sampai masyarakat bawah sudah bersibuk ria untuk turut andil dalam
suksesi politik 5 tahunan ini.
Tag :
Artikel,